13 - Perasaan apa ini?

16 2 0
                                    


Cahaya matahari menyelinap melalui celah jendela, berusaha membangunkan Riana perlahan dari tidur lelapnya. Minggu lalu, ia mengunjungi kediaman Varhadt untuk menerima pelajaran istimewa dari Viscountess Varhadt—sebuah pelajaran yang dianggapnya sangat penting dan berharga. Dalam ingatannya yang samar, ia teringat akan buku yang dibacanya siang itu. Pipi Riana bersemu merah, rasa malu menyelimuti wajahnya, sementara Vilda yang duduk di sebelahnya tampak tengah mengantuk.

"Vilda, bangun!" Mendengar seruan ibunya, manik biru yang setengah mengantuk itu langsung terbuka lebar dan buru-buru ia membetulkan posisi duduknya.

"Jika kau terus bersikap seperti itu, ibu rasa Nona Loren akan mendapatkan pria tampan lebih dulu darimu," ucap Viscountess Varhadt, geram melihat perilaku putrinya yang tak sungguh-sungguh. Ia khawatir putrinya tidak akan mendapatkan pria berstatus bangsawan.

Vilda mencebikkan bibirnya, sedikit kesal karena omelan ibunya yang tidak pernah berakhir untuknya. Jika saja Riana tidak teringat akan undangan pesta teh pertamanya, mungkin ia akan melanjutkan tidurnya, terhanyut dalam mimpi indah tentang sahabatnya yang terkena omelan. Hari ini, ia akan menghadiri perjamuan pesta teh yang diadakan oleh salah satu putri baron, sebelum ia merayakan debut sosialnya.

Sudah menjadi tradisi, setiap putri bangsawan yang merayakan ulang tahun ke tujuh belas akan mengadakan pesta teh dengan dihadiri beberapa bangsawan lainnya. Sebaliknya, putra bangsawan akan merayakan dengan mengadakan perlombaan perburuan. Meski gelar baron tergolong sebagai gelar bangsawan rendah, mereka tetaplah bangsawan dan diharapkan berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku di kalangan bangsawan dan aristokrat

"Nona, apakah anda sudah bangun?" Suara Martha terdengar dari balik pintu kamar Riana.

"Aku sudah bangun, masuklah," balas Riana lembut.

Martha melangkah masuk dan segera menjalankan tugasnya; membuka tirai jendela, membawa gelas kosong, dan membersihkan atau merapikan kamar Riana. Ia juga akan menyiapkan air mandi. "Nona, apakah anda akan mandi sekarang?"

"Ya, tolong siapkan segera," jawab Riana, suaranya masih setengah mengantuk. "Siapkan juga gaun berwarna merah untukku, aku berencana memakainya untuk menghadiri pesta teh," tambahnya.

"Baik, Nona."

Pagi hari yang ingin Riana nikmati dengan bermalas-malasan seketika berubah, ia segera bangun dan menyantap makan pagi. Setelah air mandi sudah selesai disiapkan, ia membasuh diri lalu merias wajah dan menata rambutnya. Gaun berwarna merah yang dipenuhi dengan sulaman tampak menawan, begitu juga dengan rambut merah yang disanggul rapi dengan beberapa jepit berwarna emas. Setelah dirinya sudah rapi dan mempesona, Riana buru-buru menuju kereta kuda yang telah disiapkan, sedang menunggunya.

"Paman, apakah kau sudah menemukan seseorang yang dapat menjaga rumah kebunku?"tanya Riana, dengan penuh harap. Ia bertekad untuk kembali tinggal di rumah utamanya, merasa sudah saatnya untuk mengambil alih urusan keluarganya. Ia juga berencana untuk mempekerjakan seseorang yang mampu merawat kebunnya dengan baik.

"Saya sudah menemukannya, Nona, tapi orang tersebut baru akan datang esok hari," jawab Paman Parlo.

"Baiklah, tidak masalah. Terima kasih banyak atas bantuanmu, Paman," ucap Riana tulus.

"Itu sudah kewajiban saya melayani anda, Nona." Paman Parlo membungkuk sedikit, menunjukkan rasa hormat pada tuannya. "Bersenang-senanglah di pesta teh, Nona," serunya saat Riana dan Martha melangkah masuk ke dalam kereta kuda.

"Baiklah, aku akan bersenang-senang, Paman," balas Riana, disertai tawa kecil sebelum kereta kuda itu melaju, meninggalkan kediaman Loren.

****

Waiting For Lover (Menanti Kekasih)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang