10 - Seorang Bangsawan

13 3 0
                                    


Kereta kuda mewah milik keluarga Varhadt melambat sebelum berhenti di depan kediaman keluarga Loren. Dari dalam, seorang gadis jelita berambut pirang bagaikan sinar pagi turun dengan anggun, di tangannya tersemat seikat bunga matahari yang berkilau.

"Selamat datang, Nona Varhadt. Nona Riana telah menanti anda di dalam." Pria paruh baya yang mengurus rumah itu menyambut Vilda dengan penuh hormat, suaranya terdengar hangat.

"Terima kasih atas sambutan anda yang begitu ramah, Paman. Bagaimana keadaan anda di hari yang indah ini?" balas Vilda sambil menyimpulkan seulas senyuman, menyiratkan keanggunan yang memikat.

"Seperti yang anda lihat, Nona, saya dalam keadaan baik. Kehadiran anda kembali membuat saya sangat bahagia," ucapnya, mencerminkan rasa syukur yang mendalam atas kunjungan Vilda.

Vilda tertawa lembut mendengar ucapan Paman Parlo."Saya pun merasakan hal yang sama. Sudah lama sekali saya ingin berkunjung kemari," timpalnya. Vilda telah menganggap Paman Parlo sebagai pamannya sendiri, berkat ikatan persahabatan yang erat dengan Riana.

Mereka melangkahkan kaki penuh kehangatan, memasuki rumah yang tampak megah itu, diikuti oleh Asha yang setia mengikuti di belakang. Rumah itu tampak tak banyak berubah, sama seperti terakhir kali Vilda berkunjung, meski potret keluarga yang biasanya menghiasi dinding kini tak terlihat. Vilda memahami alasannya; ia tahu Riana masih berduka atas kepergian kedua orang tuanya.

"Vilda!" Sapaan penuh kegembiraan terdengar, Riana segera berlari menghampiri sahabatnya dengan raut wajah yang berseri-seri.

"Riana, sahabatku! Bagaimana kabarmu?" Vilda segera memeluk Riana dengan erat, rasa rindunya sudah sangat membuncah.

"Aku baik-baik saja. Aku senang kau datang kemari," ucap Riana.

Vilda mengerutkan dahinya. "Kau berbohong. Bagaimana bisa kau menjadi lebih kurus seperti ini?" tanyanya, khawatir akan keadaan sahabatnya.

Riana hanya bisa tersenyum. "Aku hanya sakit demam biasa, dan sekarang sudah sehat."

Vilda cemberut, ia tahu betul bahwa kabar kematian orang tuanya yang membuat Riana terpuruk. Waktu satu tahun ternyata tak cukup untuk bisa menerima kenyataan yang pahit ini. "Aku membawakanmu hadiah," ucapnya sambil menyerahkan seikat bunga matahari. "Jika kau merindukanku, lihatlah bunga ini. Anggap saja itu aku."

Riana menerimanya dengan senang hati, lalu menyuruh salah satu pelayan untuk meletakkan bunga itu di dalam vas yang cantik. Ia juga meminta pelayan untuk membawakan teh dan kue-kue manis sebagai hidangan untuk sahabatnya.

"Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu. Apakah kau sudah siap mendengarkannya?" tanya Vilda dengan manik berbinar-binar.

Riana mengangguk sambil tersenyum. Ya, inilah Vilda Varhadt, yang selalu membawa berita besar atau kisah menarik tentang dirinya. Hal ini menjadi salah satu alasan kedekatan mereka; Riana tidak pandai bercerita, lebih suka mendengarkan, sementara Vilda senang berbicara. Mereka saling melengkapi; Vilda membutuhkan seseorang yang bisa mendengarkan, sementara Riana bisa mendapatkan kabar hanya dengan menyimak cerita Vilda, tanpa harus terlibat langsung dalam pertemuan-pertemuan kecil antara anak sebayanya.

"Sebelum aku bercerita, bisakah kau menceritakan keadaanmu, Riana?" Sorot mata Vilda seketika meredup, khawatir, ia tidak mungkin memaksakan Riana untuk mendengarkannya dengan keadaan seperti itu.

"Aku baik-baik saja, Vilda. Aku sudah sehat. Dokter Wilson sudah merawatku," ucap Riana, berusaha meyakinkan dengan senyum tulus.

"Kalau begitu, aku mau mendengar ceritamu lebih dulu."

"Aku tidak tahu harus menceritakan apa," timpal Riana, ragu dan bingung.

"Baiklah, jika begitu, kau harus menjawab pertanyaanku," ujar Vilda, dengan semangat yang sudah kembali muncul di wajahnya.

Waiting For Lover (Menanti Kekasih)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang