9 - Vilda Varhadt

14 3 0
                                    


Ruangan berukuran 3x3 meter terasa mencekam, bagaimana tidak? Di sana tampak ceceran darah yang mengering dari tubuh seseorang yang sudah sekarat, ia terduduk lemas di lantai dengan kedua tangan yang terikat. Di hadapannya, berdiri sosok pria bermanik hitam sedang menatapnya tajam.

"Aku sudah mengatakan yang sebenarnya padamu, jadi lepaskan aku!" Teriakan pria itu menggaung di udara, serak.

"DIAM!" Harvis berseru penuh amarah.

"Apalagi yang mau kau dengar? Yang menyuruhku adalah Andre Castro! Jadi, lepaskan aku sekarang!" Harvis marah, ia tidak ingin mendengar nama itu lagi. "Bebaskan aku! Aku sudah mengatakan padamu, Andre Cas—"

"Eugh!" Harvis menendangnya kuat. "Bangsat! Berani-beraninya kau berbohong padaku!" umpatnya, ia menendang pria itu lagi.

Sungguh di luar dugaannya, ia akan mendengar nama tersebut, hingga membuat dirinya benar-benar tidak mampu mengendalikan diri untuk sesaat. Sudah beberapa kali tawanan itu mengatakan omong kosong yang membuat telinganya jengah, Harvis sangat mengenal sosok yang disebutnya, ia tidak akan mungkin lupa.

Dari luar terdengar derap langkah kuda yang semakin mendekat, menandakan bahwa teman-temannya akan segera tiba. Setelah memastikan bahwa bajingan itu telah mati, ia membersihkan sepatunya, tak ingin darah kotor itu menempel pada pakaiannya.

Klek! Suara kenop pintu diputar, dan empat orang yang sudah dikenali Harvis masuk secara berurutan. Di hadapan mereka, tampak dua sosok yang sangat berbeda, satu duduk dengan tatapan penuh amarah, sementara yang lainnya tergeletak lemas, tak bernyawa.

"Apakah bajingan itu mati?" tanya Jack yang mendapati anggukan dari Harvis.

"Siapa yang menyuruhnya?" tanya Ivander.

"Bajingan itu tidak memberitahu," jawab Harvis, ia tidak berbohong, lagi pula bajingan itu hanya berbicara omong kosong!

"Mustahil, bajingan rendahan itu mau mati sia-sia," ucap Ivander.

"Apakah kita akan kembali ke markas?" tanya Galar.

"Cih! Melaporkan kegagalan maksudmu?" Ivander membalikkan badannya, menatap prajuritnya dengan cemoohan.

"Tidak ada yang tersisa dari mereka, semuanya sudah mati," ucap Harvis.

"Bajingan bodoh itu yang mati, bukan pemimpinnya! Kau bahkan tidak tahu siapa yang menyuruh mereka," seru Jack, tidak terima dengan ucapan Harvis.

"Semua bajingan itu telah mati. Bukankah mereka seharusnya takut untuk terus melakukan hal seperti ini?" jelas Harvis, manik hitamnya menatap keempat temannya secara bergantian. "Lagi pula, mereka sudah kalah, para pengkhianat itu tidak akan berontak dalam waktu dekat, kita bisa mempersiapkan rencana lebih baik untuk menumpas mereka," lanjutnya.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan? Pulang dengan tangan kosong?" tanya Jack mencemooh.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan? Mencari mereka dengan mengacaukan seluruh kota dengan pedangmu, begitu?" tanya Harvis tak kalah mencemooh.

"Sudahlah, jika tidak ada urusan lagi di sini, lebih baik kita kembali. Ingat, komandan memerintahkan kita untuk menyelidiki apakah perdagangan senjata ini dibantu oleh pasukan timur. Kita hanya memata-matai mereka," ucap Galar, mencoba menengahi.

"Bukankah itu menggelikan? Apakah pasukan timur juga memata-matai kita?" timpal Jack dengan nada kesal.

"Cukup, Jack!" seru Ivander berusaha untuk menghentikan pertikaian.

"Maaf," Robeth yang sedari tadi terdiam, bersuara. "Bolehkah saya bertanya?" tanyanya yang langsung mendapat anggukan dari Ivander. "Bagaimana pendapat tuan-tuan tentang hal ini? Bukankah saling curiga satu sama lain hanya akan menghilangkan rasa percaya dan kesetiaan?" ucapnya. Sebenarnya, Robeth tidak terlalu menyukai tugas semacam ini; baginya, hal ini dapat memecah belah mereka di kemudian hari.

Waiting For Lover (Menanti Kekasih)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang