Sudah tujuh tahun berlalu, Joseph tidak melihat wajah yang membuat adiknya sedih, meski hanya dalam dugaan, ia yakini sebagai penyebab kesedihan mendalam adiknya. Melihat kehadiran Harvis, Joseph tidak dapat menahan tatapannya dari Jeanna, berharap adiknya tidak terguncang oleh kehadiran lelaki itu."Selamat atas kelahiran cucu anda, Yang Mulia Duke. Saya hadir di sini mewakili keluarga George," ucap Harvis, suaranya lembut dan penuh hormat, seolah-olah kejadian tujuh tahun silam tak pernah terjadi.
Duke Walterz menerima ucapan itu dengan penuh bahagia dan tersenyum, tampak tak terpengaruh oleh bayang-bayang masa lalu. Lagi pula, itu hanyalah rencana pertunangan saja. "Terima kasih, Harvis. Sampaikan salamku kepada ayahmu. Bagaimana kabarmu, Nak?"
"Saya berada dalam keadaan baik, dan sangat bersyukur dapat menghadiri perjamuan ini serta menyapa anda kembali, Yang Mulia," jawab Harvis, suaranya penuh kesopanan.
Setelah saling bertukar kata sepatah dua patah, Harvis beralih kepada Joseph, yang menatapnya dengan tajam, seolah-olah ia adalah mangsa yang terperangkap dalam tatapan pemburu. "Selamat atas kelahiran putra pertama anda, Duke Muda," ucap Harvis, tampak tulus.
"Terima kasih atas ucapan anda. Saya kira anda sudah tiada," balas Joseph, sarkasme tersirat dalam nada suaranya. Dengan segera ia ditegur oleh Rosaline, istrinya, yang berdiri di sampingnya.
Kenangan akan adiknya kembali mengoyak hati Joseph. Ia teringat betapa besarnya perubahan Jeanna setelah rumor yang menyesakkan itu merebak. Sejak saat itu, Jeanna semakin mengurung diri, dan jarang terlihat. Tubuhnya menjadi semakin kurus, wajahnya tampak lesu, dan sering kali, ia jatuh sakit, membuat seluruh keluarga berada dalam kekhawatiran yang mendalam.
"Anna, makanlah," ucap Duchess Walterz dengan lembut, sambil membawa semangkuk sup hangat dan sepotong roti untuk Jeanna.
"Aku tidak mau makan, Ibu," tolak Jeanna dengan lemah.
"Kau akan semakin sakit jika tidak makan."
"Aku hanya ingin tidur."
"Makanlah sedikit, hanya tiga sendok saja." Duchess Walterz berusaha membujuk, hatinya hancur melihat putrinya yang semakin kurus, lemah tak berdaya.
Dari balik pintu kamar, Joseph, putra pertama Duke Walterz, berdiri menyaksikan ibunya dan adiknya dengan tatapan sendu. Ia tidak sanggup melihat orang-orang tercintanya menderita. Dalam hatinya, keinginan untuk memaki keluarga Count George membara, tetapi ia harus menemukan penyebab mengapa adiknya terpuruk seperti ini.
Jeanna baru kembali tersenyum saat pesta pertunangannya, satu tahun setelah itu. Saat perayaan pertunangan Joseph digelar, Jeanna kembali muncul di hadapan khalayak. Tubuhnya tampak lebih baik, tetapi ia menjadi semakin pendiam. Rumor tentangnya masih bergulir, namun Jeanna seolah tak memusingkan hal itu lagi. Ia memilih untuk tenggelam dalam persiapan kelulusannya tahun depan.
"Selamat atas pertunanganmu, Kak," ucap Jeanna tulus, senyumnya seolah membawa kembali cahaya yang lama hilang dari wajahnya.
Melihat hal tersebut, hati Joseph meluap dengan kebahagiaan. "Terima kasih, adikku." Ia memeluk Jeanna erat, berjanji dalam hati untuk selalu melindunginya, tak akan membiarkan siapa pun melukainya lagi. Kenangan itu membekas kuat dalam benaknya, mengingatkan akan tekadnya untuk menjaga kebahagiaan sang adik.
Harvis yang mendengar ucapan Joseph, "Saya kira anda sudah tiada," itu sedikit tersenyum, ia merasa Joseph membenci dirinya. Tak memusingkan hal itu lebih jauh, pandangannya kini beralih kepada seorang wanita muda yang semakin menawan sejak terakhir kali mereka bertemu—wanita yang juga menatapnya dari balkon aula perjamuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waiting For Lover (Menanti Kekasih)
RomanceDILARANG KERAS PLAGIAT⚠️ Senja kala itu menjadi awal pertemuan yang tak terduga, seolah takdir mengisyaratkan bahwa dialah Sang Penyelamat bagi Kesatria Barat. Sebagai satu-satunya yang tersisa, hatinya tergerak untuk memberikan pertolongan kepada s...