Ibu : Maaf ya, Reva. Ibu baru sempat balas pesan kamu. Sibuk banget di sini. Kamu baik-baik ya di Trawas. Telepon Ibu kalau ada apa-apa.
Reva menghela napas pelan. Di hari ketiganya di Trawas, pesan balasan dari ibunya baru datang. Itupun pada pukul sepuluh pagi. Saat dia selesai mandi dan sarapan lalu menonton film box office.
Sementara ayahnya belum membalas pesan Reva sama sekali. Namun dia melihat, centangnya telah berubah warna menjadi biru. Tanda jika ayahnya telah membaca pesan yang dia kirim sebelum berangkat ke Trawas.
Mungkin sibuk juga, pikir Reva sambil mengetik pesan balasan kepada ibunya. Tapi setidaknya pesanku dibalas Ibu.
Dengan profesi Ibu sebagai Senior Marketing di sebuah bank swasta dan Ayah seorang Penyelia pabrik, wajar jika keduanya sibuk. Bahkan sejak masih kanak-kanak, Reva terbiasa dengan kondisi kedua orang tuanya. Meminta kehadiran mereka pada acara sekolah atau mengambil rapor saja, harus mencocokkan jadwal dulu.
Namun jika dipikirkan kembali, kehadiran kedua orang tuanya hanya sebagai formalitas. Mereka ada ketika Reva harus mendaftar sekolah atau urusan administrasi, serta pada saat kelulusan. Namun ibunya jarang bertanya seperti apa hari-harinya di sekolah. Dan ayahnya selalu kelelahan setiap pulang kerja sehingga tidak sempat menemaninya membuat PR.
Reva baru menyimpan ponselnya ke atas meja kembali saat pintu villa diketuk. Dia menekan tombol jeda pada remot sebelum beranjak. Ketukan kembali terdengar, tetapi tak ada yang mengucap salam.
"Pagi." Seraut wajah milik Jazz muncul saat Reva membuka pintu.
"Hai." Reva menyapa heran. "Nggak lagi antar sarapan, kan? Karena aku udah sarapan."
Jazz tertawa singkat hingga menampakkan lesung pipinya. "Nggak. Aku nggak ke rumah Bulik. Jadi aku nggak tahu orangnya bikin sarapan buat kamu atau nggak."
"Terus?"
"Cuacanya cerah. Kamu nggak kepingin jalan-jalan?"
"Sebenarnya kepingin," jawab Reva. "Tapi aku kan nggak bawa kendaraan. Dan aku nggak tahu harus ke mana. Belum pernah jelajah Trawas."
"Nggak usah khawatir, ada si Cemani."
"Cemani?" Kening Reva berkerut.
Jazz tidak menjawab. Hanya menunjuk ke balik punggungnya dengan ibu jari. Reva melongokkan kepala dan melihat sepeda motor pria warna hitam seperti yang menjemputnya semalam.
"Kamu namain motor kamu?" heran Reva.
"Kenapa nggak? Orang bisa namain villanya."
Jawaban Jazz membuat Reva terkekeh. "Ini kerjaan Mbak Lila. Kan tempat ini punya dia. Tapi aku juga bakal kasih nama ke barang kesayanganku, sih. Nggak aneh, kok. Cuma nggak biasa," ucapnya. "Jadi, gimana?"
"Jadi? Kita langsung berangkat biar nggak terlalu siang. Aku bisa tunggu kalau kamu mau siap-siap dulu." Jazz melihat jam tangan di lengan kirinya. "Asal nggak lama-lama."
"Memangnya kita mau ke mana?" tanya Reva. "Seenggaknya aku tahu sebelum memutuskan mau pakai apa."
"Yang jelas alam terbuka," jawab Jazz. "Setahuku di Trawas belum ada wahana ekstrim kayak di Jatim Park gitu, deh." Jazz menyebut salah satu tempat wisata modern terkenal di Kota Batu.
"Oke." Reva mengangguk-angguk. "Sepuluh, atau lima belas menit. Silakan masuk. Kayaknya lebih enak kalau tunggu di dalam," ucapnya seraya membuka daun pintu lebih lebar.
Reva menawari minuman kepada Jazz, tetapi laki-laki tersebut menolak. Akhirnya Reva pamit ke kamar untuk mengganti pakaian. Pilihannya jatuh pada celana katun warna abu-abu, blus lengan pendek warna gading, dan sebuah cardigan. Dia melengkapi penampilannya dengan sepasang sneakers dan sebuah tas bahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbreak Playlist [TAMAT] (SUDAH TERBIT)
RomanceTrawas adalah sebuah kota kecil di Mojokerto. Tempat Reva melarikan diri dari peristiwa menyakitkan yang baru dia alami. Di sanalah dia menemukan Heartbreak Playlist. Coffee Shop yang memiliki suasana kesendirian serta berkenalan dengan Jazz, lelak...