18 : GADIS MAKASSAR

921 151 45
                                    

"Lo sekarang sering ke sini ya, Rev?" tanya Sisca saat mengantar pesanan latte milik Reva. Perempuan itu memilih duduk di bar serti biasa.

"Aku memang suka ke coffee shop," jawab Reva. "Apalagi kalau tempatnya asyik begini. Pasti betah."

Ini adalah malam kesekian Reva mengunjungi Heartbreak Playlist. Rasanya dia mulai terbiasa dengan atmosfer patah hati tempat itu. Dengan daftar lagu yang diputar, Lost Night, hingga Malam Patah Hati yang anehnya selalu membuat banyak orang berdatangan.

Mungkin benar. Patah hati semestinya dirayakan, kehilangan seharusnya dilepas dengan senyuman, dan kesunyian dianggap sebagai hal yang normal. Sayangnya, hal-hal tersebut bukanlah kebiasaan bagi semua orang.

"Walaupun gue kerja di sini, kadang masih aneh kalau ada yang datang buat meratapi nasibnya," ujar Sisca.

"Jangan lupa kalau kamu juga ngomong begitu waktu kita mau bikin tempat ini," sahut Jazz yang baru kembali dari mengantar pesanan. Dia mengambil tempat di sebelah Reva. "Kamu dan Dastan. Jangan lupa," tegasnya.

"Ya karena waktu itu kita nggak expect kalau tempatnya bakal serame ini, Jazz," kilah Sisca. Kemudian menoleh pada Reva. "Walaupun udah temenan lama sama Jazz, gue masih nggak habis pikir dia punya ide begini. Emang kalau lagi patah hati tuh ide-idenya suka serba ajaib."

Kening Reva berkerut mendengar ucapan Sisca. "Jazz bisa patah hati juga?" tanyanya.

"Ya bisa lah. Dia kan manusia. Bukan raksasa batu penjaga harta karun Upin-Ipin," celetuk Sisca yang membuat Reva tertawa.

"Gimana ceritanya?" tanya Reva pada Jazz.

"Cerita apaan?"

Reva melengos. "Hubungan kamu sama mantan," jawabnya. Kemudian dia buru-buru menyambung, "Tapi ya, itu kalau kamu nggak keberatan buat cerita."

"Aku nggak tahu apakah cerita semacam itu menarik buat diketahui," ujar Jazz. "Maksudku, itu panjang banget dan aku harus kerja."

"Tenang. Ada gue. Biar gue yang tangani kopinya," sahut Sisca. Kemudian berbicara kepada Reva, "Ceritanya nggak kalah seru dari tragedi Romeo-Juliet lho, Rev."

Jazz memandang kesal pada Sisca yang meninggalkan bar seraya tertawa. Perempuan itu harus membuat pesanan baru yang diserahkan Mirza. Tambahan frappe untuk pengunjung perempuan yang sedang bersedih di sudut kafe.

"Jadi?" tanya Reva setelah Sisca berlalu.

"Yah," Jazz mengedikkan bahu. "Kejadiannya sudah lama."

Reva mengangguk-angguk. "Teman SMA atau kuliah?"

"Kuliah," jawab Jazz. "Dulu aku kuliah jurusan DKV di Surabaya. Kami seangkatan."

"Wow," kagum Reva. "Aku selalu kepingin masuk jurusan DKV. Tapi sadar kalau gambarku jelek."

Jazz tertawa kecil. "Cewek ini jago gambar. Jago desain juga. Dia bahkan merilis komik digital waktu itu."

***

Surabaya, Tujuh Tahun Yang Lalu

Namanya Ira. Nama yang sederhana, singkat, dan mudah diingat. Namun dia bukanlah sosok yang sederhana. Secara keseluruhan.

Ira merantau dari Makassar, tanah kelahirannya, untuk mengejar mimpi di tanah Jawa. Pembawaannya yang ramah, parasnya yang cantik, dan cara bicara yang menyenangkan membuat Ira dengan cepat dikenal di kampus.

Siapa mahasiswi yang tidak ingin menjadi bagian dari lingkaran pertemanan Ira? Atau mahasiswa mana yang tidak ingin menjadi kekasihnya? Jazz hanyalah satu dari sekian puluh mahasiswa yang menyimpan kagum pada gadis tersebut.

Heartbreak Playlist [TAMAT] (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang