"Jadi? Gimana kabar kamu?" tanya Kalani. Wajah lelah perempuan itu terpampang di layar ponsel Reva. Dia melakukan panggilan video saat Reva selesai memasukkan beberapa pakaian kotor ke mesin cuci.
"Better," jawab Reva seraya melempar senyum pada Kalani. "Aku sambil nyiapin makan malam ya, Lan. Kamu sendiri apa kabar? Capek banget kayaknya."
Kalani menghela napas. Sangat terlihat jika dia sedang kelelahan. "Ya gitu lah. Klien lagi banyak dan aku sendiri juga sibuk."
"Ya maklum aja. Ini kan bulannya orang nikah," timpal Reva seraya mencuci sayuran dan bahan lain. "Kayaknya makin banyak yang jadi klien WO kamu."
"Alhamdulillaah, Rev. Lumayan buat tambahan biaya nikahan sendiri," jawab Kalani seraya memperlihatkan deretan giginya.
Reva terkekeh mendengar ucapan Kalani. Kemudian menyahut, "Aku yakin biaya nikah kamu sama Ibas nanti pasti hemat banget, deh. Kan WO-nya dari kamu, bisa kali pakai harga suami"
"Hih. Emoh, ya!*) Walaupun nanti dia pakai jasa WO-ku buat nikahan kami, tetep pakai harga pasar," protes Kalani.
Lagi-lagi Reva tertawa. Sahabatnya itu telah menjalankan usaha wedding organizer dalam tiga tahun terakhir dan cukup berhasil. Namun dia sangat ketat menerapkan harga. Bagi Kalani, pantang memasang harga teman atau saudara. Bisnis adalah bisnis. Tidak peduli bagaimana hubungan antara dirinya dengan klien.
"Eum ... Rev," panggil Kalani yang hanya dijawab 'Hm' singkat oleh Reva. "Kamu kapan balik ke Malang?"
"Kenapa? Beneran kangen?"
"Dikit," jawab Kalani sambil lalu sementara Reva tertawa kecil. " Ya nggak gimana-gimana, sih. Aku cuma ada titipan pesan buat kamu dari Ibas."
"Kok dia nggak hubungi aku langsung? Malah bilang ke kamu."
"Dia lagi sibuk banget. Jadi nggak sempat," jawab Kalani. "Tapi intinya, pesan ini penting banget buat kamu."
Reva segera meletakkan peralatan masaknya dan melap tangan. Kemudian mendekat ke ponselnya di meja bar. Bukan kebiasaannya untuk bekerja sementara seseorang menelepon untuk sesuatu yang penting. Sebisa mungkin, Reva menunjukkan niat baiknya untuk mendengarkan.
"Gimana, Lan?" tanya Reva.
"Jadi ini masih tawaran aja, sih," Kalani mengatur kalimat pembuka. "Maaf sebelumnya, kamu kan sekarang lagi jobless. Jadi, kemarin Ibas nanya ke aku apa kamu udah dapat kerja dan aku jawab belum."
"Terus?" Reva terlihat penasaran.
"Ya ... ini kalau kamu mau, ya. Kebetulan perusahaan dia lagi ada lowongan. Bukan perusahaan dia banget, sih. Ini usaha mamanya. Tapi dia ikut jadi investor di sana. Mereka ini ceritanya lagi launching produk baru. Dan butuh markom buat campaign produknya ini," jelas Kalani.
Kedua mata Reva melebar. "Aku boleh ngelamar nggak, Lan? Tanyain Ibas, dong."
Kalani tertawa kecil sebelum menjawab, "Ya ampun, Rev. Nggak denger tadi aku ngomong apa? Ini lowongannya malah dikasih ke kamu."
"Serius?"
"Dua ribu rius," jawab Kalani. Reva sontak berteriak bahagia.
"Ini beneran kan, Lan? Aku nggak kena prank, kan?"
"Ya ampun, Reva. Emang aku ini Atta Halilintar suka nge-prank?" protes Kalani. "Ibas bilang, sekarang ini lagi proses produksi. Kira-kira satu minggu lagi mereka persiapan buat campaign. Nah, dia kepingin kamu gabung karena tahu banget hasil kerja kamu. Kalau soal berkas lamaran dan lain-lain, nanti aja kalau kamu udah di Malang. Ibas bilang, kalau udah pulang dari Trawas, kamu bisa hubungi dia langsung. Atau setelah ini, deh. Biar urusannya cepet kelar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbreak Playlist [TAMAT] (SUDAH TERBIT)
RomanceTrawas adalah sebuah kota kecil di Mojokerto. Tempat Reva melarikan diri dari peristiwa menyakitkan yang baru dia alami. Di sanalah dia menemukan Heartbreak Playlist. Coffee Shop yang memiliki suasana kesendirian serta berkenalan dengan Jazz, lelak...