"Ira berasal dari suku Bugis," ucap Jazz. Dia menatap Reva yang sejak tadi mendengarkan tanpa menyela. "Dalam tradisi mereka, perempuan dianggap makhluk yang istimewa. Karena para perempuan serba bisa. Itu sebabnya di kalangan masyarakat Bugis, ada tradisi uang panai. Semacam syarat yang harus disanggupi para laki-laki yang ingin menikahi perempuan Bugis. Dan jumlahnya nggak kecil."
Reva menopang kepalanya. "Biar aku tebak, kamu nggak sanggup memenuhi persyaratan dari mereka."
Jazz mengulas senyum. "Sebenarnya, hal-hal semacam ini bisa dibicarakan. Paling nggak, dicari jalan tengahnya," ucapnya. "Tapi keluarga Ira memilih untuk strict sama aturan budaya mereka."
"Jadi sebenarnya, tanpa uang panai pun, kamu sama Ira bisa nikah?"
"Bisa." Jazz mengangguk. "Aku punya beberapa kenalan yang beristrikan orang Bugis. Dan kebanyakan, mereka menikah tanpa uang panai. Atau kalau tetap pakai uang panai, jumlahnya nggak terlalu fantastis. Disesuaikan dengan kemampuan para calon suami sebagai formalitas."
"Memangnya orang tua Ira minta berapa sama kamu?"
"Hm ... seharga properti di Trawas," jawab Jazz kalem.
"Bercanda, kan?" Reva membelalakkan kedua mata dan menegakkan kepalanya. Yang menurut Jazz, membuat ekspresi Reva terlihat memesona.
"Menurut mereka, itu jumlah yang wajar. Karena Ira anak perempuan satu-satunya, berpendidikan, pekerjaan mapan, cantik, dan keturunan bangsawan."
"Serius, deh. Masih ada yang kayak gitu di zaman modern begini?" Reva menggeleng tak percaya. "Kalau aku jadi orang tua Ira, nggak bakal segitunya, deh. Itu kan sama aja menghalangi kebahagiaan anak."
Jazz kembali mengulas senyum. Entah mengapa melihat Reva uring-uringan begini, justru membuatnya ingin tertawa. Wajah yang sering muram itu jadi terlihat berbeda dan ... menggemaskan?
"Mereka cuma beralasan ingin mempertahankan adat budaya. Lagipula, banyak laki-laki yang sudah antri untuk melamar Ira. Kalau memang aku serius, aku harus buktikan dengan menyanggupi syarat dari mereka."
"Tapi itu kan sama aja dengan pemaksaan. Sorry, yang bener pemerasan. Kamu kan bisa dibilang baru kerja. Kalaupun udah mapan, belum bisa lah nyediain uang sebanyak itu. Untung aja kamu nggak jadi nikah sama dia."
Jazz mengangkat alis seraya menatap Reva. Tiba-tiba saja perempuan itu gelagapan dan segera meralat ucapannya, "Ma-maksudku, karena kamu bakal kesulitan di awal. Kan kita nggak tahu apakah nanti hal-hal kayak gini bisa bikin kamu bahagia sama Ira." Kemudian Reva kembali terlihat kebingungan. Karena Jazz tampak terheran setelah mendengar Reva bicara.
"Eum ... ya ...," Reva kali ini tergagap. Otaknya mendadak terasa kosong. "Intinya, ada hikmah walaupun kalian batal nikah."
Reva memukul kepalanya diam-diam. Merasa jika ucapannya terdengar sangat bodoh. Sementara Jazz hanya tersenyum kecil melihat gestur perempuan di hadapannya. Reaksinya, entah bagaimana menimbulkan perasaan nyaman. Jazz merasa baik-baik saja setelah menceritakan mengenai dirinya dan Ira.
"Aku ngerti kok, Rev." ucapan Jazz membuat Reva menoleh. "Itu semua udah berlalu. Sudah hampir lima tahun. Setelah kami pisah, dia nikah sama teman SMA-nya di Makassar. Seorang pengusaha muda. Lagipula, mungkin memang lebih baik Ira nggak nikah sama aku."
"Kenapa?"
"Karena keadaanku mulai sulit," jawab Jazz. "Waktu itu Ibu sudah mulai terserang demensia ringan. Sebelum aku menemui orang tua Ira di Makassar. Walaupun Ibu belum sepenuhnya pikun, tapi keadaannya cukup mengkhawatirkan. Aku sampai harus pulang-pergi Surabaya-Trawas setiap dua hari untuk memastikan kalau beliau masih bisa beraktivitas sendiri. kadang-kadang aku minta tolong Bulik Rahma untuk nengokin Ibu."
![](https://img.wattpad.com/cover/279552897-288-k641636.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbreak Playlist [TAMAT] (SUDAH TERBIT)
Lãng mạnTrawas adalah sebuah kota kecil di Mojokerto. Tempat Reva melarikan diri dari peristiwa menyakitkan yang baru dia alami. Di sanalah dia menemukan Heartbreak Playlist. Coffee Shop yang memiliki suasana kesendirian serta berkenalan dengan Jazz, lelak...