26 : RAGU

834 143 16
                                    

"Mau jalan-jalan sebentar?" tanya Jazz saat dia dan Reva keluar dari panti.

"Siang-siang gini?" tanya Reva yang dijawab dengan anggukan oleh Jazz. "Ke mana?"

Jazz mengulas senyum sebelum menjawab, "Kamu ikut aja. Tapi aku jamin kamu bakal suka."

Reva menatap sepasang manik hitam yang tertangkap oleh kedua indera penglihatannya. "Oke," jawabnya beberapa saat kemudian.

Tak menunggu lama, Jazz segera memakaikan helm pada Reva sebelum mengenakan miliknya sendiri. Dia menyalakan mesin motor dan menunggu Reva menempatkan diri dengan nyaman di atas boncengan sebelum melajukan motornya keluar dari pekarangan panti werdha.

Udara tidak lagi sedingin pagi tadi, sehingga Jazz tidak perlu membungkus kedua tangan Reva dalam saku jaketnya. Namun, dia tetap meminta agar perempuan itu berpegangan erat. Karena jalur yang akan mereka lewati cukup menantang.

Di atas boncengan, Reva mengedarkan pandangannya ke sekitar. Jalanan, rumah-rumah penduduk, villa para orang kaya yang hanya dikunjungi setiap beberapa pekan, perkebunan, dan kendaraan lain yang sejalur dengan mereka.

"Masih jauh, nggak?" Reva mengencangkan suaranya saat bertanya.

"Sebentar lagi," jawab Jazz sedikit berseru. "Kenapa?"

"Pinggangku mulai kesemutan."

Jazz tertawa mendengar jawaban Reva. Dia maklum. Perjalanan dari panti werdha ke tujuan mereka kali ini memang cukup jauh. Terhitung sudah dua puluh menit mereka meninggalkan panti werdha. Melalui jalur yang tidak bisa dibilang bagus di beberapa titik.

Meski kecepatan kendaraan Jazz masih terbilang wajar, tetapi dia harus berkendara dengan hati-hati. Bukan hanya kendaraan roda empat dan dua yang melalui jalur yang sama dengan tujuannya. Beberapa kali, Jazz dan Reva juga berpapasan dengan truk bermuatan material. Bukan hal bagus jika sesuatu terjadi pada mereka akibat kecerobohan Jazz. Dia tidak ingin celaka karena hal konyol. Terlebih, jika akibat kecerobohannya, Reva juga mendapat masalah.

Setelah melalui jalur utama, Jazz membelokkan motor hitamnya ke sebuah akses jalan kampung. Beberapa menit kemudian, mereka tiba di sebuah area parkir yang dikelilingi pepohonan.

Turun dari boncengan, Reva melepas helm seraya memandang sekitar. Suara alam berpadu dengan deru kendaraan yang berhenti dan suara manusia yang saling sahut. Lamat-lamat, telinga Reva menangkap bunyi deru yang tidak asing.

"Air terjun, ya?" tebak Reva.

Jazz yang sedang menggantung helm pada stang mengangguk. Kemudian mendekati Reva dan mengambil helm dari tangannya. "Belum pernah ke sini?" tanyanya.

"Belum." Reva menggeleng. Dia menunggu Jazz yang menyimpan helmnya di atas sadel motor.

"Wajar, sih. Tempat ini baru dibuka. Jadi belum terlalu banyak pengunjung. Tapi dijamin kamu nggak nyesel, deh. Pemandangannya bagus banget," ujar Jazz meyakinkan.

"Bukan masalah baru atau udah lama. Tapi bahaya, nggak?"

"Nggak. Tempatnya aman banget, kok. Bahkan anak-anak bisa main di sana." Lagi-lagi Jazz meyakinkan. "Aku ke loketnya dulu."

Reva mengangguk sebelum Jazz beranjak menuju loket yang bangunannya masih sangat baru. Dia membayar tiket untuk dua orang sebelum kembali mendatangi Reva dan mengajak perempuan tersebut memasuki kawasan air terjun.

Akses jalan yang belum sepenuhnya bagus membuat Reva berhati-hati melangkah. Beruntung, dia mengenakan alas kaki yang cukup bersahabat di medan licin. Namun meski telah waspada, tetap saja Reva terpeleset saat hampir tiba di kawasan air terjun. Jazz yang berjalan lebih dulu di depan Reva, segera menangkap dan menahan tubuh perempuan itu agar tidak jatuh.

Heartbreak Playlist [TAMAT] (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang