"Halo, Gadis Ipanema." Reva yang sedang melamun seraya memainkan cangkir latte-nya di bar mengangkat pandang. Dia langsung bertemu dengan seraut wajah yang tak pernah absen tersenyum.
"Hai, Jazz," sapa Reva. Jazz hanya melambai singkat karena sedang melap cangkir-cangkir dan gelas yang baru dicuci.
"Kamu nggak bilang kalau hari ini mau ke Heartbreak Playlist," ujar Jazz.
"Nggak ada rencana, sih. tadinya Cuma kepingin jalan-jalan di sekitar sini. Tapi terus haus, jadi mampir." Reva memamerkan senyum tipisnya.
Jazz menyimpan cangkir yang selesai dilap ke rak di bawah bar sebelum berucap, "Kali lain kalau mau ke sini, bilang. Kita bisa bareng. Kasihan kamu kalau jalan kaki dari Rosanna ke sini. Jaraknya lumayan, tahu."
"Nggak usah lah. Aku biasa jalan kaki, kok. Kalau dari Rosanna ke sini, masih bisa ditoleransi," tolak Reva.
"Aneh. Zaman sekarang, orang lebih suka naik motor kalau ke mana-mana. Bahkan sejauh sepuluh meter pun, menurut mereka sama dengan satu kilometer."
Reva tertawa kecil. "Aku nggak kayak gitu, sih," ucapnya. "Mungkin karena dari kecil udah dibiasain, ya? Dan buat aku, jalan kaki kayak semacam meditasi gitu. Walaupun nggak seratus persen menenangkan, tapi setelahnya aku ngerasa lebih baik."
"Hm. Caranya unik juga," kagum Jazz. Kemudian menyelesaikan melap cangkir terakhir dan menyimpannya di rak yang sama.
"Kalau kamu? Punya cara buat menenangkan diri?"
"Kerja. Datang ke Heartbreak Playlist, ketemu mereka," Jazz menunjuk para pengunjung Heartbreak Playlist di meja masing-masing. "dan dengerin curhat atau cerita mereka. Cukup jadi mood booster, sih."
"Dan dapat untung dari sana?" sambung Reva sebelum disusul derai tawa dirinya dan Jazz. "Ngomong-ngomong, aku penasaran. Kenapa kamu dipanggil Jazz? Karena suka musik Jazz atau orang tuamu kepingin punya mobil?"
Jazz terkekeh. "Aku udah kenyang sama pertanyaan itu," ucapnya. "Dulu waktu SMP dan SMA sering banget jadi target olokan gara-gara disamain sama merk mobil."
"Yaa Allaah. I'm so sorry." Reva tampak prihatin. Dia mengerti rasanya menjadi target perundungan karena pernah mengalaminya semasa sekolah.
"It's okay. Aku nggak terlalu mikirin itu." Jazz mengibaskan sebelah tangannya. Dia kini memilih mengobrol dengan Reva setelah semua pekerjaannya selesai. "Dulu mungkin merasa risih. Tapi sekarang aku baik-baik aja. Teman-temanku yang sekarang juga nggak pernah ngolokin pakai namaku sendiri.
"Panggilan itu dari mendiang ayahku. Karena–seperti tebakan kamu–beliau suka musik jazz. Jadi dari namaku, Hijaz, beliau cuma ambil bagian belakangnya. Biar gampang. Sekarang itu jadi kenang-kenangan, sih."
"Oh, maaf. Aku nggak tahu kalau ayahmu udah meninggal. Kalau ibu?"
"Alhamdulillaah, masih ada," jawab Jazz. "Kalau kamu? Orang tua gimana?"
"Alhamdulillaah. Masih ada semua. Tapi sejak kuliah, aku nggak tinggal bareng mereka. Jadi jarang ketemu. Aku lebih sering menghabiskan waktu bareng teman-temanku," ujar Reva. Kemudian menatap sekeliling. "Eh ngomong-gomong soal teman, kok Dastan sama Sisca nggak kelihatan? Jadi sepi kalau nggak denger mereka berantem."
Ucapan Reva kembali membuat Jazz terkekeh. "Dastan lagi banyak pasien, jadi mampir agak nanti. Kalau Sisca, dia izin khusus hari ini. Biasa, cewek. Tamu bulanannya datang. Dan kalau hari pertama, dia selalu kena kram," jelas Jazz. "Tapi nggak masalah, sih. Kebetulan hari ini nggak terlalu ramai."
"Kalau boleh tahu, Dastan itu bukan asli sini, ya?"
"Nggak bener-bener bukan asli sini, sih. Kenapa kok tiba-tiba tanya?"
"Cuma heran. Dia sama Sisca kalau ngomong sering pakai 'lo-gue'. Aneh aja. Ini kan bukan di Jakarta. Kalau Sisca, aku tahu dia pendatang. Dia sendiri bilang kalau dari Bandung. Tapi kalau Dastan, aku pikir dia orang sini karena satu sekolah sama kamu."
"Oh. Ya memang bawaanya mereka gitu, sih," ujar Jazz. "Dastan dari lahir sampai SMA tahun kedua di Jakarta. Keluarga mamanya yang asli sini. Mereka pindah ke Trawas waktu dia kelas dua belas. Dastan sama Sisca tuh sebenernya bisa bahasa Jawa. Tapi kalau ngobrol masih lebih dominan logat ibu kotanya."
"Karena kalau ngomong Jawa, logat gue aneh," sahut sebuah suara yang memancing perhatian Jazz dan reva. Disusul sosok bertubuh tegap dalam balutan kemeja biru gelap yang menarik bangku di sebelah Reva. "Tuhan Yesus, awakku remek kabeh!*)" keluhnya saat mengempaskan tubuh ke bangku.
Seketika Reva menyemburkan tawanya mendengar ucapan Dastan. Dia tergelak sehingga menyebabkan beberapa orang memusatkan perhatian padanya. Tak terkecuali Dastan dan Jazz. Khusus bagi Jazz, pemandangan itu sejenak membuatnya terpaku.
"Tuh, kan? Gue bilang juga apa," kesal Dastan.
"Logat kamu kalau ngomong Jawa aneh banget," ujar Reva sebelum melanjutkan tawanya. "Nggak ada medok-medoknya."
"Makanya gue nggak pernah ngomong bahasa Jawa. Ya gini ini, ujungnya. Kalau nggak diketawain, ya disuruh diem."
"Kok bisa, sih? Kamu tinggal di sini udah bertahun-tahun, lho." Reva menghapus sudut matanya yang berair karena tertawa.
"Itu lah ajaibnya Dastan," timpal Jazz. "Ngobrol sama orang tuanya pakai bahasa Inggris, sedangkan sama pasiennya pakai bahasa Indonesia. Sinau basa Jawa ping suwidak jaran ya percuma**). Wong nggak pernah dipraktekkin."
Sekali lagi tawa Reva meledak. Dia sampai harus menutup mulutnya agar tak terdengar terlalu kencang. "Baru kali ini aku tahu kamu ngomong bahasa Jawa. Bener-bener kelihatan mas-masnya tahu, nggak?"
"Lha berarti kemarin-kemarin itu siapa? Om-om?" timpal Dastan yang membuat Reva tertawa semakin kencang. Kali ini dia sampai memegangi perutnya yang terasa kaku.
"Aduh. Udah, udah. Gara-gara ngomongin kalian, perutku jadi kaku." Reva kembali mengusap sudut matanya. "Kamu, Dastan. Kelihatannya dokter, berwibawa. Nggak tahunya wagu juga."
Dastan mengernyit. "Wagu itu apaan?"
"Nggak tahu?" tanya Reva yang dijawab Dastan dengan gelengan.
"Kamu kalau ngomong sama Dastan pakai kosa kata Suroboyoan aja. Yang umum. Kalau terlalu Jawa gitu dia nggak ngerti," sahut Jazz. Dia kini ikut bergabung dengan duduk di bar, di sebelah Dastan, karena belum ada pelanggan tambahan.
"Emang itu bahasa Jawa?" tanya Dastan.
"Iya lah. Tapi lebih sering dipakai sama orang Jawa Tengah atau Jogja, sih," jelas Reva. "Wagu tuh semacam aneh atau konyol tapi berkesan lucu gitu, lho."
"Bentar, Rev. Lo bukannya dari Malang, ya?" heran Dastan.
"Iya." Reva mengangguk. "Tapi ayahku asli Solo. Yang Malang ibuku."
"Oh. Pantesan lemah lembut, ayu, gitu." Dastan menyimpulkan dengan ekspresi seolah mengagumi.
"Inget sama Inge." Jazz mengingatkan.
"Gue cuma bilang Reva ayu, kenapa disuruh inget sama Inge sih, Jazz? Nggak lupa sama tunangan sendiri, gue," protes Dastan. Kemudian kembali menoleh pada Reva. "Sorry ya, Rev. Maklum, kalau kelamaan sendiri ya kayak gini. Hatinya sedingin salju."
"Terus aja, Das. Hina terus," sahut Jazz kesal.
Reva yang mulai tenang, kembali terkekeh menyaksikan dua laki-laki di hadapannya berdebat dan saling mengolok. Sementara Jazz, meski harus menghadapi ucapan-ucapan ajaib sahabatnya, entah bagaimana dia merasa sangat bahagia. Mungkin karena tawa dari si gadis Ipanema.
***
*) = Badanku hancur semua!
**) = Belajar bahasa Jawa berkali-kali juga percuma. (Secara harfiah, 'suwidak jaran' bermakna 60 (suwidak = enam puluh) kuda. Namun sering digunakan sebagai ungkapan untuk menyebut suatu usaha yang sudah dilakukan berkali-kali hingga tidak terhitung.)
_____________
Di chapter ini sengaja nggak mengharu biru dan baper dulu. Kita cari tahu jati diri Dastan, Sisca, dan Mas Jazz.
Eh, nggak terlalu serius, kok. Buat selingan aja.
_____________
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbreak Playlist [TAMAT] (SUDAH TERBIT)
Storie d'amoreTrawas adalah sebuah kota kecil di Mojokerto. Tempat Reva melarikan diri dari peristiwa menyakitkan yang baru dia alami. Di sanalah dia menemukan Heartbreak Playlist. Coffee Shop yang memiliki suasana kesendirian serta berkenalan dengan Jazz, lelak...