Jam dinding menunjukkan waktu 22.30 saat Jazz melepas apron dan menggantungnya di loker karyawan. Dia meraih jaket kulit dan kunci motornya sebelum menutup pintu loker.
"Mas Jazz. Aku sama Rio duluan, ya," pamit Mirza.
"Oh. Iya, Mir. Makasih, ya."
Mirza mengangguk sebelum keluar dari ruang karyawan. Terdengar dia berpamitan pada seseorang sebelum disusul dengan denting bel pintu. Tanda Mirza sudah menuju sepeda motor matik kesayangannya di tempat parkir.
Sambil mengenakan jaket, Jazz melangkah keluar ruang karyawan. Menuju ruangan kafe yang lampu-lampunya telah padam. Kursi-kursi diangkat ke meja masing-masing. Begitu pula dengan bangku-bangku berkaki tinggi di dekat bar.
Langkahnya terhenti saat melihat seorang perempuan berdiri di dekat panggung mini. Dia berdiri membelakangi Jazz dan tampak menatap pada dinding di belakang panggung yang berhias lukisan quotes.
"Reva," panggil Jazz. Perempuan tersebut memutar tubuh dan tersenyum tipis saat mejumpai Jazz.
"Hai. Udah selesai?"
"Sudah." Jazz mengangguk. Kemudian mendekat pada Reva. "Nunggu lama?"
"Nggak, kok." Reva menggeleng. "Aku justru mau minta maaf karena diantar pulang sama kamu."
Seulas senyum menghiasi bibir Jazz. Dia memang meminta Reva untuk menunggunya. Mungkin lebih tepat jika disebut memaksa. Perempuan itu mengobrol dengan Jazz dan Dastan hingga lupa waktu. Saat Dastan berpamitan, barulah Reva menyadari jika dia pun harus pulang.
Jazz mencegah perempuan itu kembali seorang diri ke Rosanna. Walaupun jarak ke villa tersebut tidak terlalu jauh dari Heartbreak Playlist, tetapi tidak bisa disebut dekat juga. Awalnya Dastan menawarkan diri untuk mengantar Reva, tetapi dicegah oleh Jazz. Dia beralasan Dastan sudah terlalu lelah, maka dirinya yang akan mengantar Reva kembali ke Rosanna.
"Pepet terus, Mas Jazz," goda Dastan sebelum meninggalkan Heartbreak Playlist satu jam yang lalu.
"Kenapa harus minta maaf? Emang seharusnya ada yang antar kamu pulang. Apalagi udah larut begini," ujar Jazz.
"Tapi masa kamu, sih? Padahal aku bisa pesen ojek atau taksi online, lho."
"Aku nggak keberatan, kok." Jazz melipat tangannya.
"Iya. Tapi kan nanti kamu jadi telat pulang," sanggah Reva. "Laki-laki emang nggak bikin terlalu khawatir kalau pulang telat, tapi pasti Ibu kamu nungguin. Belum lagi kalau rumah kamu jauh. Emang rumah kamu di mana, sih?"
Sekali lagi Jazz mengulas senyum melihat raut khawatir di wajah Reva. Bukankah dia yang seharusnya dikhawatirkan? Dia perempuan asing, di kota asing, sendirian, tanpa saudara atau teman.
"Rumahku dekat, kok. Jarak dua gang dari tempat kamu," jawab Jazz. "Kalau soal ibuku, kamu nggak usah khawatir. Aku tinggal sendiri. Ibuku nggak pernah nanyain aku sampai rumah jam berapa."
"Masa, sih?" Kening Reva berkerut. "Kakaknya Ambar laki-laki. Dan ibunya masih sering kirim chat, dia pulang kantor jam berapa? Padahal orangnya udah nikah dan hidup terpisah dari ibunya."
Jazz tidak langsung menjawab. Dia menatap lurus pada Reva. "Dulu ibuku begitu, tapi sekarang nggak lagi."
"Kenapa?" tanya Reva.
"Besok," Jazz menghentikan sejenak kalimatnya. "Mau ikut? Ketemu ibuku."
***
Kabut belum sepenuhnya hilang saat Jazz tiba di depan villa Rosanna dengan Cemani, motor pria hitam kesayangannya. Dia mengenakan kaus lengan panjang abu-abu yang dirangkap jaket kulit, celana denim warna hitam, dan sepatu kanvas.
![](https://img.wattpad.com/cover/279552897-288-k641636.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbreak Playlist [TAMAT] (SUDAH TERBIT)
RomanceTrawas adalah sebuah kota kecil di Mojokerto. Tempat Reva melarikan diri dari peristiwa menyakitkan yang baru dia alami. Di sanalah dia menemukan Heartbreak Playlist. Coffee Shop yang memiliki suasana kesendirian serta berkenalan dengan Jazz, lelak...