28 : MENETAP

833 148 26
                                    

Jazz menyandarkan tubuhnya pada dinding teras Rosanna yang temaram. Degup di dadanya tak beraturan. Dia baru tiba di Rosanna sejak beberapa menit yang lalu untuk menjemput Reva. Tangannya siap mengetuk pintu saat telinganya menangkap suara Reva. Perempuan itu sedang bertelepon atau melakukan panggilan video? Karena telinga Jazz menangkap dengan jelas suara lawan bicara Reva.

".... Tinggal di sini memang menyenangkan. Dekat sama Jazz juga menyenangkan. Tapi aku takut, itu nggak akan jadi seterusnya. Gimana kalau ternyata hubungan kami nggak berhasil?

"Aku rasa, mungkin ini lebih baik buat kami. Terutama buatku. Aku sama Jazz tetap berteman aja. Kami tetap bisa berhubungan baik tanpa perlu saling menyakiti. Aku tahu ini berat, tapi lebih baik."

Tangan Jazz berhenti di udara. Dia tertegun mendengar semua ucapan Reva kepada teman-teman yang menghubunginya. Ada jeda sejenak sebelum salah satu dari orang yang menghubungi Reva berucap, "Tapi, Rev. Mengesampingkan kalau kamu bakal balik ke Malang, juga keadaan serba nggak pasti yang kalian punya, tolong jawab jujur. Gimana perasaan kamu sama Jazz?"

Kembali sunyi. Jazz memasang telinganya baik-baik. "Aku sayang sama dia," ucap Reva yakin. Kemudian terdengar kekeh pelan. "Aku nggak tahu, Ambar. Bilang gini terlalu buru-buru atau nggak. Dan aku juga nggak akan bilang kalau dia laki-laki terbaik yang pernah aku kenal.

"Tapi aku selalu merasa nyaman dekat sama dia. Dia peduli dan pendengar yang baik. Kalau boleh, aku ingin selalu di sini. Tapi sekali lagi, keadaan nggak ada di pihak kami. Jadi seperti yang aku bilang, ini mungkin yang terbaik. Aku nggak mau kalau suatu saat justru nyakitin dia karena memaksakan kehendak."

Jazz yakin, jantungnya kini segera meledak. Sekuat tenaga dia menahan diri agar tidak menerjang masuk ke ruang tamu Rosanna dan memeluk Reva. Tak dapat diungkapkan berapa banyak kapasitas kebahagiaan yang kini memenuhi setiap rongga dadanya.

Reva menyayangiku, batin Jazz. Tiba-tiba kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Sungguh sulit menahan diri untuk tidak tersenyum saat kebahagiaan kita sedang meluap-luap.

Itu berarti satu hal. Aku tidak menanggung sendiri perasaan ini, pikir Jazz. Kami menanggungnya bersama. Aku dan Reva.

Kenyataan itu seperti hujan di tengah musim kemarau bagi Jazz. Kegelisahan yang dia rasakan dalam beberapa hari terakhir seolah memudar dan berganti dengan kelegaan tak terkira.

Jazz tahu dia akan jatuh cinta. Wajah muram Reva yang terpaku di depan Heartbreak Playlist saat pertemuan pertama mereka begitu membekas di ingatannya. Wajah yang mengingatkan Jazz pada lagu The Girl From Ipanema kesukaannya dan sang ayah yang telah berpulang.

Semesta seolah berkonspirasi kepada Jazz. Membuatnya selalu memiliki kesempatan untuk bertemu dan berinteraksi dengan Reva. Menumbuhkan perasaan nyaman saat mereka dekat, dan memunculkan keinginan kuat dalam diri Jazz untuk selalu ada bagi Reva.

Namun, senyum di wajah Jazz tak bertahan lama. Dengan cepat kebahagiaan itu surut mendengar ucapan Reva sebelumnya. Mereka tidak memiliki kesempatan. Sekalipun alam semesta telah berkonspirasi, tetap saja segala keputusan mengenai nasib mereka ada di tangan Sang Maha Pemilik Alam Semesta.

Tidak bisakah Tuhan berbaik hati pada kami? pinta Jazz.

Luapan kebahagiaan dalam hati Jazz dengan cepat berganti dengan kegundahan. Bertanya-tanya mengapa Tuhan menjauhkannya dan Reva saat hati mereka telah saling bertaut.

Cepat-cepat Jazz menguasai diri saat mendengar Reva mengakhiri komunikasi dengan teman-temannya. Dia mengingatkan diri sendiri tujuan kedatangannya ke Rosanna. Setelah menarik napas beberapa kali, Jazz kembali bergerak ke depan pintu masuk villa dan mengetuknya.

Heartbreak Playlist [TAMAT] (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang