"Besok jam tujuh pagi sudah siap, ya? Aku jemput kamu." Jazz berpesan setelah mengantar Reva hingga Rosanna, sebelum dia kembali memacu motor hitamnya untuk pulang.
Reva sengaja menyetel alarm ponselnya agar bisa bangun pagi sekali. Dia memasak menu sarapan sebelum bersiap. Tepat pukul tujuh, terdengar ketukan di pintu villa. Reva bergegas mencangklong tas bahu dan membawa tas bekal yang telah berisi dua kotak menu sarapan untuk Jazz dan ibunya.
"Hai," sapa Reva saat menjumpai Jazz di depan pintu Rosanna.
"Tumben udah siap?" tanya Jazz seraya mengamati penampilan Reva. Dia mengenakan kemeja, celana katun, dan merangkapnya dengan sebuah parka berwarna navy.
"Nyindir?"
Jazz tertawa saat melihat raut ketus Reva dan mendengar perempuan itu menyahuti ucapannya. Kemudian mengajak Reva menuju motornya yang parkir di depan villa dengan dua buah helm hitam di atasnya.
"Kamu bawa apa?" Tanya Jazz lagi saat melihat tas yang ditenteng Reva.
"Sarapan. Aku masak sendiri, lho. Buat ibu kamu," jawab Reva bangga.
"Nggak kebanyakan? Ibu porsi makannya kecil."
"Eum ... satunya buat kamu. Itu juga kalau kamu mau, sih." Reva segera melempar tatap ke sembarang tempat. Aneh rasanya menyatakan bahwa dia membuatkan sarapan juga untuk Jazz. Dan bagaimana bicara seperti itu saja sudah membuat jantungnya berdegup tak karuan?
Jazz yang sudah mengenakan helm, menatap perempuan di hadapannya seraya tersenyum. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya mengambil helm cadangan dan mengenakannya di kepala Reva. Perempuan itu terkejut dan mendadak terdiam oleh perlakuan Jazz.
"Udah. Berangkat, yuk," ajak Jazz setelah memastikan helm terpasang di kepala Reva dengan benar. Kemudian menaiki motor dan menyalakan mesinnya.
Reva mengatur barang bawaannya sedemikian rupa agar tidak terlihat repot. Saat hendak berpegang pada Jazz, laki-laki itu sudah lebih dulu meraih tangannya dan membawa ke dalam saku jaket.
Dalam sekejap, Reva merasa tubuhnya seperti tersengat listrik dan kedua pipinya menghangat. Genggaman tangan Jazz terasa lama dan hangat. Seolah memastikan bahwa kedua tangan Reva tidak akan membeku di dalam saku jaketnya. Atau mungkin, laki-laki itu tidak rela cepat-cepat melepas genggamannya?
Jazz tersenyum pada Reva melalui kaca spion. Dia melepas genggamannya lalu memindah gigi mesin dan segera mengaspal dengan Reva berada di atas boncengannya. Mereka melewati rute yang sama dengan yang ditempuh Jazz saat kali pertama mengajak Reva mengunjungi ibunya. Hanya saja, bagi Reva perjalanan kali ini terasa lebih sunyi.
Reva mati-matian meredam degup jantungnya yang semakin cepat, seiring dengan kecepatan kendaraan yang membawa dirinya dan Jazz. Dia menyibukkan diri dengan melihat pemandangan hijau yang mereka lewati.
Namun, bagaimana Reva bisa berkonsentrasi dengan apa yang dia lihat? Jika yang ada di otaknya saat ini adalah wangi parfum beraroma kayu dan rempah dari tubuh Jazz. Bagaimana dia bisa memuji keindahan alam di sekitarnya, jika yang menurut penglihatannya paling indah saat ini adalah senyum laki-laki yang memboncengnya?
Kedua mata Reva terpejam. Bukan karena mengantuk. Dia menghirup aroma yang menghampiri hidungnya diam-diam. Aroma yang dia rekam baik-baik dalam pikirannya. Aroma yang mungkin tidak akan dia hirup lagi untuk entah berapa lama.
Aroma favoritku. Mungkin, batin Reva.
Jazz merasakan pelukan Reva semakin erat di pinggangnya. Apa Reva kedinginan? Soalnya dia kan nggak tahan dingin, pikir Jazz.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbreak Playlist [TAMAT] (SUDAH TERBIT)
RomanceTrawas adalah sebuah kota kecil di Mojokerto. Tempat Reva melarikan diri dari peristiwa menyakitkan yang baru dia alami. Di sanalah dia menemukan Heartbreak Playlist. Coffee Shop yang memiliki suasana kesendirian serta berkenalan dengan Jazz, lelak...