12 : SAHABAT

966 149 41
                                    

Fajar. Waktu terbaik dalam satu hari bagi Jazz. Dia duduk di ruang makan kediaman sederhananya. Sebuah bangunan bergaya tahun 1980an dengan cat yang masih baru. Secangkir kopi hitam dengan aroma menenangkan tersaji di hadapannya bersama dengan sepiring roti bakar bertabur gula.

Diambilnya cangkir kopi dan menyesap isinya. Seraya mencecap rasa pahit dan manis yang tertingal di lidah, kedua mata Jazz menerawang ke halaman belakangnya yang dipenuhi rontokan daun kering. Dia mengingat perbincangannya dengan Reva semalam.

*

"Dia kakak tingkatku di kampus." Reva memulai kisahnya. "Kamu tahu? Kayak tokoh-tokoh utama di novel romantis. Ganteng, cerdas, baik."

"Kayak aku, dong?" timpal Jazz yang memancing tawa Reva.

"Boleh, boleh." Reva menanggapi sambil mengangguk kecil. Wajahnya kembali berubah serius saat melanjutkan kisahnya, "Kami kenalan waktu aku masih jadi mahasiswa tingkat dua. Pas ada kuliah umum di kampus. Dua bulan setelah itu, kami jadian. Lima tahun pacaran, kami tunangan. Tapi tiga minggu yang lalu, kami putus. Dan sehari kemudian, aku kehilangan pekerjaan."

*

Jazz kembali menyesap kopinya. Teringat bagaimana Reva menceritakan kisahnya. Bagaimana raut perempuan itu yang terlihat muram tetapi berusaha untuk tersenyum. Atau bagaimana dia berusaha agar terlihat baik-baik saja usai menceritakan kisahnya secara singkat.

"Si gadis Ipanema," gumam Jazz. Lamunannya terhenti saat ponsel di dekat piring rotinya bergetar. Menampilkan sebuah nomor telepon rumah. Jazz meraih benda tersebut dan menggeser layar.

"Halo," sapanya pada si penelepon. Laki-laki itu mendengarkan ucapan seseorang yang menghubunginya sambil menyesap kopi yang perlahan berubah hangat. "Oke. Setelah ini saya ke sana. Terima kasih sudah menelepon."

Jazz mematikan ponsel lalu menarik piring dan menyantap roti bakarnya dengan cepat. Dilihatnya jam dinding. Dia memiliki waktu sepuluh menit untuk bersiap sebelum pergi.

***

Di waktu yang sama, Reva sedang berkutat di dapur Rosanna. Dia membuat omelet dengan isian paprika dan sayuran sebagai menu sarapan. Sementara ponselnya menyala di atas meja bar. Dia tersambung dengan kedua sahabatnya, Ambar dan Kalani, yang menghubungi melalui video call dari kediaman masing-masing.

"MD*)-ku lagi on fire kayaknya," ujar Ambar. "Bayangin aja. Dia bikin playlist siaran buat stok dua minggu. Edan."

Kalani dan Reva sama-sama tertawa. Ambar sangat berdedikasi pada pekerjaannya. Namun dia juga sering mengeluh untuk hal yang sama. Tentang rekan-rekan kerja atau pendengarnya yang serba ajaib.

"Masalah kamu dari dulu tuh sama aja, tahu?" timpal Kalani. Rambut lurus sepunggungnya masih dicepol asal. Wajahnya pun masih berminyak karena baru bangun dari tidur. "Kalau nggak ngeluh soal atasan, ya temen siaran. Tapi kalau disuruh pindah, katanya eman-eman.**)" Kata terakhir diucapkan Kalani dan Reva bersama. Kemudian disusul tawa renyah mereka kecuali Ambar yang memasang raut kesal.

"Kamu gimana di sana, Rev? Kayaknya lumayan betah." Ambar mengalihkan topik.

"Ya alhamdulillaah," ucap Reva sebelum mematikan kompor. Dia segera memindah omelet ke piring. "Aku jalan-jalan ke sekitar sini. Kenalan sama teman-teman baru. Main-main ke tempat Bu Rahma juga."

"Kelihatan kok, kalau kamu enjoy di sana," sahut Kalani. "Tapi belum kepingin balik ke Malang, ya?"

Reva menggeleng saat mendekati ponselnya dengan membawa piring dan segelas air. "Kenapa? Udah kangen?" tanyanya sebelum tertawa kecil.

Heartbreak Playlist [TAMAT] (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang