Suster Diana

54.5K 3.5K 435
                                    

Aku masih berdiri, sambil menatap telepon yang terus berbunyi. Nomornya masih sama, dari kamar mayat.

"Mas," sapa Seseorang mengagetkanku. Aku menoleh, ternyata sudah ada seorang perawat berdiri di depan pos.

"Lagi liatin apa, serius banget?" tanyanya.

"Nganu, Mbak. Saya lagi liatin telepon daritadi bunyi," balasku seraya menghampirinya.

"Ya angkat aja, siapa tau penting."

"Kabelnya sudah saya cabut, Mbak."

"Loh? Kok bisa bunyi?"

"Makanya saya juga heran."

Aku berjalan ke dalam pos. "Coba deh Mbak liat, aneh banget," ucapku seraya menatap telepon itu.

"Mbak?" Aku menoleh ke belakang, ternyata perawat tadi sudah menghilang.

"Astaghfirullah!" Spontan aku beristighfar, sambil mengedarkan pandangan mencari keberadaan perawat tadi. Sementara itu, telepon masih terus berbunyi.

"Baru kerja dua hari aja dah begini," gerutuku seraya duduk di kursi depan. Tetap tidak memperdulikan panggilan telepon itu.

Dari kejauhan terlihat Pak Kosim sedang berjalan ke luar rumah sakit.

"Pak," sapaku seraya berjalan ke arahnya.

"Ya, Dek, ada apa?" balasnya, menghentikan langkah.

"Tumben jam segini belum pulang?"

"Masih repot, Dek. Urus kamar mayat."

"Bukannya pendinginnya udah nyala?"

"Iya, tapi ada beberapa yang gak nyala. Jadi masih bau banget."

"Terus gimana, Pak?"

"Ya, tadi saya pindah-pindahin manual. Gantian gitu, biar mayatnya gak cepet busuk, tapi lama kelamaan capek juga."

"Emang teknisinya gak bisa dateng jam segini?"

"Besok pagi katanya."

"Oh ya, Pak. Daritadi telepon di pos satpam bunyi terus. Nomor panggilan dari kamar mayat."

"Bukan saya, Dek," elak Pak Kosim.

"Saya juga yakin bukan bapak. Soalnya kabelnya udah saya cabut, tapi teleponnya masih bunyi."

"Masa sih, Dek?" Pak Kosim heran.

Aku mengajaknya ke pos satpam. Namun, tak terdengar suara telepon.

"Mana, Dek?" tanya Pak Kosim.

"Sumpah, Pak. Daritadi bunyi terus."

"Adek kan satpam baru. Wajar kalau ada yang mau kenalan. Apalagi ini rumah sakit tua. Saya aja yang udah kerja lebih dari 20 tahun, kadang masih sering dikerjain penghuni sini. Jadi kalau ada yang iseng, cuekin aja, Dek."

"Iya, Pak."

"Ya sudah, saya mau pulang dulu."

"Hati-hati, Pak."

Pak Kosim pun berlalu menuju parkiran. Sementara aku kembali duduk di kursi depan. Hanya saja, kini tak terdengar suara panggilan telepon.

Tet!

Suara klakson motor yang dikendarai Pak Kosim.

"Saya pulang dulu, Dek," ucap Pak Kosim seraya menghentikan motor tepat di depan pos satpam.

"Iya, Pak."

"Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

_________

Kring!

Spontan aku menengok ke belakang, menatap telepon di atas meja yang kembali berbunyi. Cukup lama aku menatap telepon itu, hingga akhirnya aku bangkit dan berjalan ke arah pintu rumah sakit.

Ya, daripada harus mendengarkan bunyi telepon terus menerus, lebih baik keliling rumah sakit. Toh, sekarang pun sudah lewat tengah malam. Jarang sekali ada pasien yang datang.

Aku berjalan masuk ke dalam rumah sakit, terlihat ada beberapa perawat sedang berkumpul di depan ruang UGD. Kusapa mereka, kemudian berlalu menuju selasar yang mengarah ke ruang inap.

Suasananya sepi, hanya aku sendiri yang berjalan menyusuri selasar yang agak gelap. Di ujung selasar terlihat seseorang sedang berdiri. Dari pakaiannya seperti seorang perawat. Mungkin habis mengontrol kondisi pasien di ruang inap.

Aku pun berjalan mendekat. Perawat itu menoleh dan tersenyum padaku. Wajahnya tak asing. Mirip sekali dengan ... yang kulihat di depan pos satpam tadi.

"Mbak yang tadi ke pos satpam, Kan?" tanyaku. Ia tak menjawab, malah berjalan ke arah ruang inap. Aku pun membuntutinya, sambil menatapnya dari ujung rambut sampai kaki.

"Kakinya menapak ke tanah, berarti bukan hantu," pikirku.

Tepat di depan salah satu kamar inap, ia menghentikan langkahnya. Kembali menoleh ke arahku sambil tersenyum. Spontan aku pun mengehentikan langkah.

"Jika ada yang membutuhkan bantuan. Sebaiknya kamu bantu," ucapnya, lalu berjalan masuk ke dalam kamar inap.

"Iya, Mbak," balasku seraya menghampirinya. Ingin menanyakan apa maksud dari ucapannya. Namun, yang kuhadapi kini hanya pintu kamar yang digembok dari luar.

"Astaghfirullah, berarti dia bukan ...," gumamku, lalu membalikan badan. Mengurungkan niat untuk berkeliling.

Aku kembali melewati selasar. Perawat yang kukihat berkumpul di depan ruang UGD pun masih ada di sana.

"Kok cepet amat, Mas?" tanya Salah seorang perawat.

"Sepi, jadi gak ada yang perlu diliat," balasku.

"Tapi kok, jalannya kaya buru-buru gitu, terus mukanya ketakutan," sahutnya.

"Pasti abis ketemu Suster Diana," sahut Perawat lainnya.

"Oh, jadi namanya Suster Diana."

"Tuhkan! Hampir semua yang kerja di sini minimal satu kali ketemu Suster Diana. Tapi dia baik kok, Mas."

"Iya, cuman tetep aja kaget," balasku disertai senyum.

"Biasanya kalau ada kejadian di rumah sakit, dia pasti muncul."

"Kejadian apa?"

"Dua malam ini, beberapa pasien dan perawat ngedenger suara cewe nangis di deket kamar mayat, Mas."

Ternyata tidak hanya aku saja yang diteror. "Saya balik ke pos lagi ya, Mbak," ucapku pamit.

"Iya, Mas. Hati-hati ada Suster Diana," balas Salah satu perawat, diikuti suara tawa pelan mereka.

Aku pun hanya membalas dengan senyum, lalu berjalan ke luar rumah sakit. Langkahku agak pelan saat mendekati pos. Dari jarak beberapa meter, tak terdengar suara panggilan telepon.

"Aman," ucapku dalam hati, seraya duduk di kursi depan.

Kring!

"Astaghfirullah, baru nafas sebentar," gerutuku.

Kesal sekaligus penasaran membuatku bangkit dari kursi dan mendekati meja. Saat gagang teleponnya kusentuh. Suaranya menghilang.

Namun, ada hawa dingin yang kurasakan tepat di belakang leher. Hawa dingin yang menepel dikulit, hingga membuatku merinding.

"Bantu saya," bisik Suara wanita tepat di belakangku.

BERSAMBUNG

Panggilan Telepon Dari Kamar Mayat [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang