Foto Jenazah

23.8K 2.1K 36
                                    

"Gimana, Din?" tanya Mas Karno.

"Dia minta bukti, Mas," balasku seraya menyerahkan ponselnya. "Nanti pulsanya saya ganti," lanjutku, lemas.

"Tinggal dicari barang buktinya."

"Iya, Mas. Tapi harus ke kantor polisi. Saya gak mungkin ujug-ujug datang ke sana terus minta foto barang bukti."

"Coba minta bantuan orang rumah sakit atau Pak Kosim gitu."

Oh, Ya! Pak Kosim, kenapa aku bisa lupa. "Makasih, Mas!" ucapku sembari menjabat tangannya, lalu pergi ke dalam.

"Mau ke mana lu, Din?"

"Ketemu Pak Kosim," sahutku.

Aku pun berdiri di lobi, sambil menunggu Pak Kosim ke luar. Tak butuh waktu lama beliau terlihat berjalan ke lobi. Buru-buru aku menghampirinya.

"Ada apa, Dek?" tanyanya heran dan sedikit terkejut.

"Maaf, Pak. Tadi saya sudah teleponan sama Beti."

"Terus gimana?"

"Dia minta bukti kalau itu beneran Mita."

"Bukti apa?"

"Foto barang bawaan Mita. Bapak punya?"

"Waduh, bapak gak punya, Dek. Di sini cuman ada foto jenazahnya."

"Foto jenazah juga boleh deh, Pak. Siapa tau keluarganya di sana atau Beti ngenalin."

"Hmm, tapi ... apa adek yakin itu keluarga Mita? Soalnya menyebarkan foto jenazah ini sebenarnya tidak boleh."

"Saya yakin banget, Pak."

"Gimana adek bisa yakin?"

"Soalnya saya denger sendiri Beti bilang kalau nama adiknya Mita itu Gugum."

"Hubungannya apa?"

Saya menceritakan mimpi tentang rumah panggung. Serta ucapan terakhir Mita sebelum melangkah ke dalam.

"Kalau gitu, yuk ikut saya." Pak Kosim mengajakku ke ruang perawat. Lalu, aku diminta untuk menunggu di depan ruangan itu. Tak lama beliau ke luar, sambil membawa kunci di tangannya.

"Berkasnya ada di kamar mayat," ucapnya seraya mengajakku ke kamar mayat.

"Adek bener-bener yakin itu keluarga Mita?" sambungnya.

"Iya, Pak."

"Soalnya kalau sampe salah saya bisa kena omel."

"Insya Allah bener, Pak."

Di sepanjang perjalan, beberapa kali kutatap langit yang sudah gelap. Aku sungguh khawatir, kalau Mita ada di sana, menunggu kedatangan kami.

_______

Saat kakiku melangkah ke dalam lorong panjang. Tiba-tiba bulu kudukku meremang. Namun, rasa takutku sedikit berkurang saat melihat Pak Kosim yang berjalan di depanku.

Krek!

Pintu kamar mayat terbuka. Pak Kosim masuk ke dalam, sementara aku menunggu di luar. Aku menundukan kepala, tak berani menatap lorong yang sepi.

Tak lama, Pak Kosim ke luar dengan membawa berkas berwarna biru. Ya, berkas yang sama dengan yang beliau perlihatkan sebelumnya.

"Yuk!" Pak Kosim mengunci pintu, lalu kami pun pergi dari sana.

"Adek pegang dulu aja berkasnya. Jangan sampe ilang," pesan Pak Kosim, sambil menyerahkan berkas itu.

"Iya, Pak." Aku menerimanya.

Panggilan Telepon Dari Kamar Mayat [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang