Saya Tidak Ingat

34.3K 2.7K 370
                                    

Sial, lagi-lagi aku tak bisa bergerak. Desahan nafasnya bisa kurasakan di punggungku. Begitu pula dengan baunya yang selalu membuatku mual. Tubuhku pun mulai bergetar. Ketakutan.

Sebuah sentuhan dingin dapat kurasakan menjalar di perutku. Rasanya seperti ada seseorang yang memeluk dari belakang. Pundak bagian kiri terasa berat sekali. Kini aku bisa merasakan desahan nafasnya di pipi kiriku.

"Saya mau pulang," bisiknya.

Aku menundukan kepala sambil memejamkan mata. Sesekali menahan nafas karena tak tahan dengan baunya.

"Pu-la-ng, ke-ma-na!" ucapku terbata-bata.

"Gunung," bisiknya, terdengar jelas di telinga kiriku.

"Gu-nung?" tanyaku.

Namun tiba-tiba pundakku terasa ringan kembali. Hawa dinginnya pun menghilang, hanya menyisakan bau busuknya saja. Aku pun sudah bisa menggerakan tubuh.

Tek!

Kuraih sakelar yang tak jauh dari tempatku berdiri. Lampu pun nyala. Perlahan aku menoleh ke belakang. Ternyata dia sudah pergi tanpa menjawab pertanyaanku. Bergegas kupakai baju, lalu pergi ke rumah sakit.

__________

Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, aku masih bisa mencium bau busuk. Seperti menempel di kulit.

Tiba di rumah sakit, Mas Karno sudah menyambut sambil bertolak pinggang di depan pos. "Jam segini baru dateng. BAGUS!" tegurnya kesal.

Aku hanya menoleh sambil tersenyum dan berlalu ke parkiran. Saat turun dari motor, beberapa kali kuendus tubuh ini. Memastikan apakah benar bau busuk ini berasal dari tubuhku. Nihil. Hanya bau keringat saja yang tercium.

Aku pun berjalan ke pos, menghampiri Mas Karno yang wajahnya sudah ditekuk. "Lu kenapa telat, Din?" tanyanya.

Aku melihat pergelangan tangan kiri. Baru sadar kalau jam tanganku tertinggal di kosan.

"Liat apa lu?"

"Jam," balasku sambil tersenyum.

"Mana jamnya?"

"Ketinggalan, Mas."

"Pantes gak tau waktu!"

"Maaf, Mas. Emangnya sekarang jam berapa?"

"Tuh liat aja sendiri!" Mas Karno menunjuk jam dinding di dalam pos.

"Oh iya, lupa." Aku sampai lupa ada jam dinding di sana. Pukul 18:40. "Telat bentaran doang, Mas," ucapku enteng.

"Kerja itu harus disiplin waktu. Apalagi lu masih baru di sini."

"Iya, Mas. Maaf," balasku sambil menundukan pandangan.

"Sekarang gw maafin, lain kali jangan diulangi!"

"Iya, Mas." Aku berjalan mendekatinya.

"Ngapain lu?" Mas Karno kebingungan saatku berjalan semakin dekat.

"Badan saya bau gak, Mas?" tanyaku polos.

"Ngapain sih lu?" sentaknya sambil mendorongku.

"Badan saya bau busuk gak, Mas?" tanyaku lagi.

"KAGAK!"

Berbeda dengan Mas Karno, aku masih mencium bau busuk itu, walaupun kini tidak begitu menyengat.

"Mas saya ke mushola dulu ya," ucapku meminta izin.

"Ngapain?"

"Belum sholat magrib."

"Jam segini? Daritadi di kosan ngapain aja?"

Aku tak mungkin bilang kalau tadi di kosanku ada Mita. "Tadi ketiduran terus bangun-bangun langsung pergi ke sini," balasku.

"Ada-ada aja lu, Din! Ya udah buruan!"

"Iya, Mas." Aku pun berlari menuju mushola.

Terlambat. Setibanya di mushola, sudah memasuki waktu isya. Terpaksa harus meng-qadha sholat. Setelah sholat, bau busuk itu tak lagi tercium dari tubuhku.

_________

Di tengah perjalanan menuju pos, aku berpapasan dengan Pak Kosim. "Pak," sapaku seraya berjalan mendekatinya.

"Eh, Dek."

"Pak, ada yang mau saya ceritakan."

"Tentang Mita?"

"Iya."

"Bapak juga mau bilang kalau seharian ini. Laci penyimpanan jenazah Mita udah bener. Gak mati lagi."

"Waduh." Harapanku agar jenazahnya dikubur lebih awal pun pupus.

"Waduh kenapa, Dek?"

"Enggak, Pak," elakku. "Oh ya, Pak. Tadi Mita datang ke kosan saya," imbuhku.

"Apa dia bilang sesuatu?"

"Dia masih minta dipulangkan ke keluarganya. Terus saya beraniin diri tanya di mana alamatnya. Dia malah bilang di gunung."

"Cuman itu aja?"

"Iya. Waktu saya tanya gunung apa? Dia malah ngilang."

"Ngobrolnya sambil duduk aja," ajak Pak Kosim seraya berjalan ke arah taman rumah sakit. Suasananya sepi. Kami pun duduk di bangku taman.

"Jadi gimana? Dia cuman bilang gunung aja?" tanya Pak Kosim.

"Iya, Pak."

"Gak ada petunjuk lain?"

"Gak ada, Pak."

"Mayatnya ditemukan tergeletak di pinggir tol Jagorawi yang mengarah ke Jakarta. Kalau dilihat dari tas berisi pakaian, kemungkinan dia memang mau berpergian," ucap Pak Kosim.

"Masalahnya ada banyak gunung di sekitar tol Jagorawi," imbuhnya.

"Iya, lagian dia ngasih petunjuk kurang jelas," gerutuku.

Tiba-tiba tercium bau busuk yang khas. "Pak," ucapku.

"Iya, saya juga nyium kok," balas Pak Kosim.

"Kayanya dia datang," ucapku pelan.

"Jangan takut. Kalaupun datang cuekin aja."

Cukup lama kami terdiam. Kutatap Pak Kosim yang terlihat tenang. Sementara aku malah panik dan celingak-celinguk tak jelas.

Bau busuk itu semakin menyengat, diikuti bulu kudukku yang meremang. Dari ekor mata terlihat ada sesuatu yang turun perlahan dari atas pohon yang berada tempat di samping tempat dudukku.

"Pak," ucapku pelan, seraya membalikan badan menghadap Pak Kosim.

"Iya, bapak liat."

Pupilku bergeser sampai ke sudut mata. Jelas sekali bisa melihat Mita sedang berdiri di sampingku. Sontak aku langsung memejamkan mata sambil menggeser tempat duduk, mendekat ke Pak Kosim.

"Pak," ucapku ketakutan.

"Tenang." Tidak ada sedikit pun kepanikan yang terdengar dari suara Pak Kosim.

"Mau apa kamu ke mari?" tanya Pak Kosim.

"Saya hanya ingin pulang," balas Mita.

"Kalau kamu mau pulang. Sebaiknya beritahu kami alamat rumahmu yang jelas," ucap Pak Kosim.

Bukannya menjawab pertanyaan dari Pak Kosim. Mita malah menangis. Sebuah tangisan yang membuat bulu kuduk di seluruh tubuhku berdiri. Sangat menyayat hati.

"Sa-ya tidak ingat," ucap Mita pelan.

Mendengar jawabannya, seketika ada keinginan untuk tertawa. Aneh sekali. Selama ini, dia terus memaksa dipulangkan ke rumahnya. Namun dia sendiri tidak ingat rumahnya di mana. Terus kami harus bagaimana?

BERSAMBUNG

Panggilan Telepon Dari Kamar Mayat [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang