Mobil masih mogok tepat di jalur tengah. Beberapa pengemudi lain yang kesal, terus menyalakan klaksonnya. Kutatap Pak Kosim, ia tetap tenang, terus berusaha menstarter mobil.
Apa ini ulah Mita?
Aku menoleh ke belakang. "Tolong jangan jahil!" ucapku dalam hati.
Anehnya, mobil tiba-tiba menyala kembali. "Alhamdulillah," ucap Pak Kosim. Mobil pun bisa melanjutkan perjalanan menuju Bogor.
"Bapak kok tenang banget?" tanyaku heran pada Pak Kosim yang tampak biasa aja. Seperti tidak terjadi apa-apa. Beliau pun daritadi hanya diam.
Pak Kosim menoleh singkat kepadaku. "Bapak tuh daritadi mikir. Apa lagi yang salah? Apa bapak salah ucap atau gimana?"
"Tapi ... kayanya bapak tau, maksud dia ngeberentiin mobilnya," imbuhnya.
"Emangnya apa, Pak?"
"Kamu gak inget ini di mana?"
"Tol?"
"Iya, terus?"
"Terus apa, Pak?" Aku semakin bingung.
"Masih muda udah pelupa. Coba apa hubungan tol ini sama Mita?"
Aku berpikir sejenak. Tol ... Mita. Oh, ya! Mayatnya ditemukan di Tol Jagorawi. "Saya tau, Pak!" ucapku senang. "Mayatnya ditemuin di tol ini, Kan?"
"Nah, bener. Kayanya Mita mau nunjukin tempat jenazahnya ditemukan. Kalau gak salah emang sekitar itu. Kilometer 30."
DUG!
Suara itu kembali terdengar dari belakang. Reflek aku menoleh. Ada apa lagi ini?
"Tuh, Mita aja setuju sama ucapan bapak. Iya, Kan?" ucap Pak Kosim, membuatku mengernyitkan dahi. Masa peti jenazah diajak ngomong?
Dug!
Pak Kosim pun tertawa. "Kadang itu cara mereka berkomunikasi. Unik bukan?"
"Aneh yang ada, Pak! Bikin orang deg-degan aja," protesku.
_________
Tak terasa, kami sudah sampai di depan gerbang tol Bogor. Antrian mobil cukup panjang. Butuh sekitar 30 menit untuk melaluinya.
Sudah lewat pun, kami masih harus dihadapkan dengan padatnya lalu lintas untuk memasuki kota Bogor. Sementara itu, langit sudah terlihat gelap. Sangat gelap. Padahal baru jam enam sore.
"Kayanya mau hujan, Pak," ucapku seraya membuka kaca jendela. Udara sudah terasa dingin. Kilatan cahaya mulai terlihat di langit yang gelap. Diikuti suara gemuruh.
"Dek, tolong ambil HP bapak di tas," perintah Pak Kosim. Kuambil ponselnya di dalam tas kecil yang diletakan di dashboard.
"Nyalainnya gimana, Pak?" Aku bingung, saat menekan-nekan keypad, tapi ponselnya tidak menyala.
"Pencet yang di bawah itu. Yang buletannya besar."
Kutekan tombol itu, tetap tak menyala. "Gak bisa, Pak?"
"Masa sih? Coba sini HP-nya."
Kuserahkan ponselnya. "Aduh," ucap Pak Kosim panik.
"Kenapa, Pak?"
"Saya lupa nge-charge HP-nya. Mana charger-annya ketinggalan di rumah sakit."
"Jangan-jangan alamatnya ada di HP?"
"Bukan, Dek. Bapak tadi cuman mau minta adek buka google map, buat nunjukin jalannya. Kalau alamat rumah Mita, ada di berkas." Pak Kosim menunjuk berkas di atas dashboard.
"Oh, bapak bikin panik aja," balasku seraya mengambil berkas. Lalu membukanya. Alamat rumah Mita tertulis jelas di sana.
"Coba adek tanyain ke orang, buat ke alamat itu enaknya lewat mana. Soalnya macet begini."
"Siap, Pak."
Pak Kosim meminggirkan mobil. Kemudian aku turun dan menghampiri salah seorang pejalan kaki. Menanyakan alamat.
"Oh, ini di Leuwiliang. Bapak ikutin angkot jurusan Laladon atau Bubulak aja. Nanti kalau dah sampe terminal. Ada angkot biru jurusan Leuwiliang, nah ikutin itu aja. Kalau dah sampe sana, baru tanya lagi desanya di mana," ucap Seorang pejalan kaki.
Aku mencoba mengingat kata-katanya. Angkot jurusan Laladon atau Bubulak dan angkot biru jurusan Leuwiliang. "Makasih ya, Mas," balasku, kembali ke mobil. Kemudian mengulang ucapan pejalan kaki tadi pada Pak Kosim.
"Sip."
"Nah itu ada angkot jurusan Bubulak, Pak," ucapku saat melihat angkot berwarna hijau dengan angka 03. Pak Kosim langsung membuntuti angkot itu.
__________
Hujan mulai turun, menimbulkan suara riuh di atap mobil. Petir pun saling bersahutan. Pak Kosim memperlambat laju mobil. Tatapannya fokus menyusuri jalan yang agak gelap.
"Ini terminalnya," ucap Pak Kosim.
Kuusap kaca jendela yang sudah berembun. Kemudian melihat ke luar. Terlihat banyak angkot berjajar dan ada tulisan Terminal Laladon. "Iya, Pak. Sekarang tinggal cari angkot biru jurusan Leuwiliang."
Pak Kosim kembali fokus pada jalanan. Melajukan mobilnya lurus ke depan, sampai pertigaan. Angkot warna biru mulai banyak terlihat di jalanan. Pak Kosim pun membuntuti salah satunya.
Mobil terus melaju, melalui jalanan lurus yang tidak begitu ramai. Sementara itu, hujan belum ada tanda-tanda reda. Kulirik jam yang melingkar di tangan, pukul 20:17.
*
"Ini udah sampe mana, Ya?" tanya Pak Kosim setelah hampir 30 menit mengikuti angkot biru itu. "Coba diliat, Dek?"
Kuedarkan pandangan, melihat ke luar. Tidak ada orang. "Pak coba parkir di depan warung itu."
Pak Kosim memarkirkan mobil, tepat di depan warung makanan. Bergegas aku turun, untuk menanyakan alamat.
"Leuwimekar udah deket, Mas," ucap Ibu penjaga warung. "Mas lurus aja, nanti ada pertigaan belok kanan. Terus lurus lagi sampe nemu pertigaan dan belok kanan," jelasnya.
"Makasih ya, Bu."
Aku kembali ke mobil dengan badan agak basah. "Udah deket katanya, Pak," ucapku seraya menutup pintu.
"Alhamdulillah." Pak Kosim kembali melajukan mobil. Sementara aku yang menjadi petunjuk jalan.
Pertigaan pertama sudah kami lalui. Sisa satu pertigaan lagi, baru sampai ke desa, tempat rumah Mita.
"Belok kanan, Pak," ucapku saat pertigaan kedua sudah di hadapan.
Pak Kosim membelokan mobil ke kanan. Tiba-tiba, beliau mengehentikan mobilnya di tengah jalan.
"Kenapa, Pak?" tanyaku heran, seraya menoleh padanya. Pak Kosim menatap serius ke depan.
Saatku melihat ke depan. Ternyata ada Mita sedang berdiri di tengah jalan. Dia berdiri sambil menatap ke arah mobil.
Dug! Dug!
Terdengar suara berisik di belakang. Sudah pasti dari peti jenazah Mita.
DUG!
Suara yang cukup keras membuat kami terkejut. Hingga spontan menoleh ke belakang.
"Hua!" Aku berteriak saat melihat Mita sudah duduk di samping peti. Dengan kepala tertunduk.
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Panggilan Telepon Dari Kamar Mayat [SUDAH TERBIT]
HorrorUdin-seorang satpam yang baru kerja di sebuah rumah sakit, sering mendapatkan panggilan telepon aneh. Asalnya dari kamar mayat. Panggilan itu terus mengganggunya saat shift malam. Hingga akhirnya ia memberanikan diri mengangkat teleponnya. Terdenga...