Saya Tidak Akan Pergi

22.6K 2.2K 350
                                    

Tak terasa air mataku jatuh. Berkali-kali ibunya Mita mengucapkan terimakasih pada Dokter. Setelah memastikan kembali alamat rumah Mita. Telepon pun ditutup. "Makasih, Dok," ucapku pada Dokter.

Dokter itu hanya tersenyum. "Saya hanya kasian sama keluarga almarhum. Tidak mau menambah kesedihan ibunya."

"Sekali lagi makasih, Dok."

Setelah mengobrol sebentar, aku dan Pak Kosim pun ke luar ruangan.

"Adek pulang aja. Nanti biar bapak yang antar jenazahnya," ucap Pak Kosim.

"Sendirian, Pak?"

"Ya, enggak. Kan ada supir mobil jenazah juga."

"Saya boleh ikut, Pak?"

"Adek kan nanti malem musti kerja. Sebaiknya pulang dan istirahat. Lagian jenazahnya juga belum diapa-apain, masih harus dicek dan lain-lain. Jadi gak tau selesai jam berapa."

Jujur aku kecewa, tidak bisa mengantar Mita ke rumahnya. Namun, ucapan Pak Kosim pun masuk akal. Lebih baik aku pulang dan istirahat. Toh, yang terpenting jenazah Mita akan segera dipulangkan.

"Ya udah, Pak," balasku dengan berat hati. "Saya pulang dulu." Aku pun pamit dan berjalan ke parkiran

"Udah, Din?" teriak Mahmud seraya menghampiriku, saatku ke luar dari gedung rumah sakit.

"Udah, Mud," sahutku.

"Hari ini dibawanya?"

"Iya, hari ini."

"Wah, selamat dah. Entar malem gak bakal ada gangguan lagi dari dia."

"Semoga aja gak ada yang lain."

"Amin."

"Ya udah, Mud. Gw balik ke kosan dulu."

"Oke, Din. Hati-hati."

Aku pun melanjutkan jalan ke parkiran.

___________

Langit sudah sangat terang. Cahaya matahari cukup menyilaukan mata. Sepanjang perjalanan, aku terus memikirkan masalah Mita.

Ingin rasanya bertemu dengan keluarganya. Menyampaikan, kalau Mita rindu dengan ibu dan adiknya. Namun, setelah dipikir-pikir kembali, itu bisa membuat keluarganya bertambah sedih.

Setibanya di kosan, aku langsung membaringkan badan. Setelah cukup lama menatap langit-langit kamar. Akhirnya aku pun tertidur.

"Kamu berbohong!" Terdengar suara wanita, mirip denga Mita.

Kubuka mata. Di hadapanku sudah ada lorong panjang rumah sakit. Di ujung lorong ada pintu. Pintu kamar mayat.

Kriet!

Pintu terbuka. Sebuah brankar ke luar dari pintu itu. Berjalan dengan sendirinya, ke arahku.

"Kamu berbohong!" Suara Mita kembali terdengar. Namun, tak terlihat wujudnya.

Brankar itu semakin mendekat. Ternyata di atasnya ada tubuh manusia yang tertutup kain putih.

Krek!

Brangkat itu berhenti, tepat di depanku. Dari arah belakang, angin bertiup sangat kencang. Hingga menerbangkan kain putih itu. Kini aku bisa melihat jenazah Mita.

Tiba-tiba, mata Mita terbuka lebar. Kemudian mengambil posisi duduk di atas brankar. Dia menatapku marah. "Kamu berbohong," hardiknya.

"Kamu berjanji akan mengantarkan saya ke rumah!" imbuhnya.

Entah mengapa aku tak bisa berbicara. Hanya bisa menatap wajah Mita yang semakin menyeramkan.

"Saya tidak akan pergi dari sana! Jika kamu tidak mengantar saya." Mita melayang di atas brankar.

Aku langsung tersadar dari tidur, dengan nafas ngos-ngosan. Mimpi tadi terlihat sangat nyata.  Kulihat jam di samping tidur, sudah pukul dua sore.

"Berarti baru tidur selama empat jam," pikirku, seraya bangkit dan berjalan ke kamar mandi, untuk mengambil wudhu.

Sesudah sholat, kududuk di ujung kasur. Memikirkan tentang mimpi tadi. Apa aku harus pergi ke rumah sakit? Untuk mengecek jenazah Mita, apa sudah diantarkan atau belum.

"Ah, pasti sudah diantarkan," gumamku seraya berbaring di atas kasur.

"Saya tidak akan pergi dari sana." Terdengar suara bisikan. Sontak aku langsung bangkit dan menyalakan lampu. Tidak ada siapa-siapa.

Aku kembali membaringkan tubuh. Baru sebentar, tiba-tiba ....

Brug!

Kardus di atas lemari jatuh.

"Apa ini ulah Mita?" pikirku sambil membereskan barang yang berserakan. Kukembalikan ke tempatnya semula, lalu berjalan ke kasur.

Brug!

Kardus itu kembali jatuh. Aku berusaha cuek, tidak membereskannya lagi.

Kriet!

Pintu lemari terbuka. Spontan mataku menoleh ke sana. Ini sudah tidak wajar. Sepertinya Mita terus memaksaku untuk pergi ke rumah sakit. Oke, akan kuturuti maunya.

_________

"Loh, Din? Ngapain datang jam segini?" tanya Bahar saatku tiba di rumah sakit.

"Iseng aja." Aku tak tau harus memberi alasan apa.

Kulihat ada mobil jenazah terparkir di dekat IGD. "Ada pasien yang meninggal, Har," tanyaku.

"Gak tau, Din."

"Itu mobil jenazah ngapain di depan IGD."

"Lu tanya aja."

"Gw parkir motor dulu deh." Aku pergi ke parkiran.

Setelah memarkirkan motor, kuhampiri mobil jenazah itu. Terlihat ada Pak Kosim sedang mengobrol di sampingnya.

"Pak," sapaku.

"Eh, Dek. Kok udah datang jam segini."

"Iseng, Pak. Apa jenazah Mita sudah di antarkan ke keluarganya, Pak?"

"Belum, Dek."

"Loh, kok belum?"

"Daritadi banyak halangan. Sekarang pas udah dimasukin mobil jenazah. Eh mobilnya malah mogok."

Kuintip ke dalam mobil jenazah. Benar, sudah ada peti berwarna putih di belakang. "Itu peti jenazah Mita, Pak?" tanyaku.

"Iya, Dek."

"Pak, kayanya mobilnya mogok lagi," ucap Seorang pria seumuran Mas Karno pada Pak Kosim.

"Aduh, gimana ya. Ini udah kesorean, kasian jenazahnya," balas Pak Kosim.

"Lagi?" tanyaku bingung.

"Iya, Dek. Ini udah mobil ketiga. Semuanya tiba-tiba mogok pas mau antar jenazah Mita. Kayanya Mita gak mau pulang ke rumahnya."

"Gak mungkin, Pak. Bapak tau sendiri dari awal dia pengen banget pulang."

"Nah, terus kenapa mobilnya dibikin mogok semua?"

Aku menceritakan alasan sebenarnya datang ke rumah sakit lebih awal. Serta mimpi dan kejadian di kosan tadi. "Menurut bapak itu maksudnya apa?" tanyaku.

"Mungkin, Mita mau adek yang antar ke rumahnya."

"Mungkin, Pak."

"Coba nyalain mobilnya! Siapa tau kalau sama adek mau nyala."

"Dicoba ya, Pak."

Aku berjalan ke pintu samping pengemudi. Duduk di kursi pengemudi, lalu memutar kunci yang tergantung. Mobil pun menyala.

"Pak," teriakku.

Pak Kosim menghampiriku. "Berarti bener, Mita maunya adek yang antar."

"Tapi, Pak. Saya gak bisa nyetir mobi," balasku seraya ke luar dari mobil.

"Kan ada supir."

Sang supir masuk ke dalam mobil, duduk. Baru menyentuh kemudi, mobil kembali mati. Ada apa lagi ini?

BERSAMBUNG

Panggilan Telepon Dari Kamar Mayat [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang