Pesan Suster Diana

32.9K 2.7K 188
                                    

Suasana tiba-tiba menjadi hening. Aku membuka mata sedikit, terlihat Pak Kosim yang duduk sambil menghadapku.

"Udah meremnya?" tanya Pak Kosim sambil tersenyum. "Adek ini gimana toh, jadi satpam tapi penakut, mana kerjanya bagian malam terus, di rumah sakit tua pula."

Aku membuka mata lebar-lebar, tapi masih belum berani untuk menoleh ke kanan atau kiri. "Dia udah pergi, Pak?" tanyaku.

"Udah."

"Loh? Cuman begitu doang?"

"Iya."

"Terus gimana cara kita cari alamatnya kalau dia sendiri gak inget."

"Itu yang bapak bingung daritadi."

"Kenapa tadi bapak gak tanya gunungnya?"

"Pas bapak mau tanya, eh dia dah ngilang begitu aja."

"Aduh gimana ya, Pak. Saya jadi bingung kalau dia nanti datang ke kosan lagi. Masa pindah kosan padahal kan baru juga seminggu di sana," keluhku.

"Pindah kosan juga percuma, orang dia bisa aja ngikut adek dari sini."

"Yah bapak! Bukannya kasih solusi malah nakut-nakutin."

"Bapak juga baru pertama kali ngalamin kasus unik kaya gini."

"Tapi bapak masih tetep mau bantuin dia?" tanyaku.

"Bapak tetep bantu dia. Semoga aja dia ingat alamat rumahnya sendiri, sebelum jenazahnya  terpaksa dimakamkan di belakang."

"Semoga ya, Pak. Saya juga capek diteror dia terus."

Pak Kosim berdiri. "Bapak pulang dulu ya, udah mau jam setengah delapan," ucapnya. "Adek mau di sini?"

"Ya enggak lah, Pak," balasku seraya berdiri. "Saya juga mau ke pos."

"Kalau begitu bareng ke depannya."

Kami pun berjalan menuju depan rumah sakit. Pak Kosim pergi ke parkiran, sedangkan aku ke pos.

Di depan pos, Mas Karno kembali memasang wajah marah. Aku tebak paling bentaran lagi dia ngomel-ngomel.

"Jamaludin!" teriaknya.

Tuhkan, benar tebakanku. "Maaf, Mas," ucapku seraya menundukan kepala.

"Lu sholat magrib lama amat. Gak sekalian ampe subuh!" omelnya.

"Anu, Mas."

"Anu-anu apaan?"

"Tadi saya keasikan ngobrol sama Pak Kosim."

Tak lama, Pak Kosim lewat, dengan motor tuanya. Dia pun pamit pulang.

"Emang ngobrolin apaan sama Pak Kosim?" Kini nada suaranya sudah mulai melunak.

"Itu cewek cantik yang kemaren ke sini."

"Katanya itu setan. Gimana sih?"

"Ya, emang setan, Mas. Dia minta dianterin pulang ke rumahnya."

"Lu anterin lah. Daripada gentayangan di mari."

"Masalahnya gak ada yang tau alamatnya di mana."

"Terus gimana?"

"Mas bingung, Kan? Sama ... saya juga," balasku.

"Dah, jangan diomongin terus. Ntar dia datang lagi repot," sambungku.

"Tadi aja dia tiba-tiba muncul di belakang saya, Mas," sambungku lagi.

"Jangan nakutin lu, Din!"

"Beneran, tanya aja Pak Kosim."

________

Sekitar pukul sebelas malam, seorang perawat datang ke pos.

"Mas, boleh minta bantuannya?" tanyanya padaku yang sedang duduk di kursi depan.

"Bantuan apa ya, Mbak?"

"Bisa tolong anterin saya ke ruang melati."

"Loh? Kenapa musti dianter?" tanyaku heran.

"Takut nyasar kali, Din!" sahut Mas Karno yang duduk di dalam pos sambil nonton televisi.

"Ya kali nyasar, Mas! Aneh-aneh aja." Aku menyahut balik.

"Mau bantuin saya gak, Mas?" Perawat itu terdengar kesal.

"Bantuin lah, Din!"

"Iya." Aku pun berdiri. "Yuk, Mbak."

Kami pun berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Ruangan melati ini berbeda area dengan ruangan mawar. Jika ruangan mawar ini harus melewati selasar panjang tempat Suster Diana biasanya menampakan diri. Nah ... ruangan melati ini harus melewati selasar juga, tapi di bagian kirinya ada taman. Ya, taman tempat aku dan Pak Kosim mengobrol tadi.

"Kenapa harus dianter, Mbak?" tanyaku.

"Soalnya kemarin yang tugas malem sempet dicegat sama hantu cewek gitu, Mas. Jadi pada gak berani lewat sana pas malem gini," jelasnya.

Apakah itu ulah Mita? Soalnya tadi dia juga muncul dari pohon dekat bangku taman.

"Ya semoga aja gak ada apa-apa, Mbak," ucapku. Jika benar itu ulah Mita, semoga saja kali ini dia tidak muncul.

"Iya, Mas."

Selasar panjang menuju ruang melati sudah di depan mata. Aku berjalan di depan, sambil terus merapal doa dalam hati. Langkah kami semakin cepat saat melewati selasar. Tak sedikitpun ada keinginan untuk menoleh ke area taman. Tetap berjalan dengan pandangan lurus ke depan. Hingga akhirnya kami pun tiba di ujung selasar.

"Mas tunggu sebentar ya, saya periksa pasien dulu," ucap Perawat itu, kemudian masuk ke dalam ruang inap.

"Iya, Mbak."

Aku berdiri di tengah lorong panjang, yang kiri kanannya ada deretan ruang inap.

Krek!

Salah satu pintu terbuka. Bukan pintu yang dimasukin perawat tadi, tapi pintu lain di dekatnya. Seorang perawat lain muncul dari dalam. Wajahnya tak asing. Suster Diana.

Jantungku mulai berdegup kencang. Rasanya tak mungkin berlari dan meninggakan perawat tadi sendirian. Suster Diana berjalan mendekat. Sontak aku langsung memalingkang wajah dan menutup mata.

"Tidak perlu takut," bisiknya yang tiba-tiba terdengar sangat dekat.

"Kami tidak selalu bisa mengingat semuanya. Kamu harus lebih bersabar menghadapinya, karena dia sudah memilihmu untuk menolongnya," pesannya.

Hembusan angin terasa di leherku. Tak lama tercium wangi melati. Saatku membuka mata, lorong sudah kembali terlihat sepi.

BERSAMBUNG

Panggilan Telepon Dari Kamar Mayat [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang