Sakit

27.4K 2.3K 95
                                    

Pikiranku melayang, terus memikirkan rangkaian kejadian hari ini. Kenapa hantu penunggu rumah sakit ini kian menunjukan eksistensinya. Apa gara-gara aku sedang jaga  sendirian?

Padahal sebelumnya pun pernah jaga sendirian. Namun, gangguannya tidak seekstrim ini. Apalagi sekarang baru memasuki tengah malam. Entah apalagi yang akan muncul nantinya.

Ketika sedang asik melamun, tiba-tiba tercium bau busuk. Tanda kehadiran Mita. Dengan gegas aku masuk ke dalam lobi. Duduk di kursi  depan resepsionis yang kosong. Hingga tak tercium lagi bau busuk itu.

Cukup lama aku duduk di sana, sembari mengedarkan pandangan. Mengamati lobi yang terlihat kosong.

Lagi-lagi, tercium bau busuk. Aku pun berdiri, sambil berpikir harus pergi ke mana lagi, untuk mencari tempat aman dari Mita. Tidak mungkin pergi ke ruang IGD, setelah kejadian tadi. Ke ruang perawat pun tak mungkin.

Aku bergerak, ke luar rumah sakit. Terpaksa kembali ke pos. Dengan langkah perlahan, aku berjalan ke pos. Melirik ke atas pohon, takut ada sosok yang menyerupai Mas Karno sedang duduk di sana.

Aman. Aku pun berhasil kembali ke pos tanpa gangguan. Kemudian duduk di dalam pos, sambil menonton televisi. Tak lupa, menutup pintu.

Tok! Tok! Tok!

Spontanku menoleh ke arah pintu. Jelas sekali tadi ada yang mengetuk pintu. Kuambil remot televisi, lalu mengecilkan volume-nya.

Tok! Tok! Tok!

Tiga ketukan cepat membali terdengar. Membuatku bangkit dari duduk, berdiri. Masih belum mau mendekati pintu.

"Siapa?" tanyaku. Namun tak ada jawaban.

Tok! Tok! Tok!

Perlahan, aku berjalan mendekati jendela. Bermaksud ingin melihat siapa yang mengetuk pintu.

"Hua!" Teriakku saat melihat jendela. Ada wajah Mas Karno yang pucat pasi di hadapan.
"Mas, tolong jangan ganggu!"

Aku duduk di pojokan, tepat di bawah televisi. Menutup wajah dengan telapak tangan. Sesekali mengintip ke arah jendela, melalui sela-sela jari.

Entah berapa lama aku terus mempertahankan posisi itu. Tiba-tiba lampu di dalam pos mati. Gelap.

Kubuka mata, kembali melihat ke arah jendela. Terlihat lampu di luar terang benderang. Berarti yang mati hanya di dalam pos saja.

Dengan gegas aku bangkit dan berjalan ke arah pintu. Belum sempat membuka pintu. Di belakangku terdengar bunyi kursi bergeser.

"Mau ke mana, Din?" tanya Suara yang mirip sekali dengan Mas Karno, tapi agak lebih berat sedikit.

Krek!

Kubuka pintu, lalu berlari ke luar. Berdiri di dekat gerbang rumah sakit, sambil mengatur irama jantung. Ada apa dengan malam ini? Aku kembali bertanya-tanya dalam hati.

Jalanan depan rumah sakit terlihat sepi. Jarang sekali ada kendaraan yang lewat. Kulihat jam di tangan, sudah pukul satu pagi.

"Masih empat jam lagi," gerutuku. Entah kenapa waktu berjalan begitu lambat.

Hampir satu jam aku berdiri di dekat gerbang. Kaki ini sudah terasa pegal dan sedikit lemas. Perut pun mulai keroncongan dan haus.

Kuedarkan pandangan, mengamati area dekat gerbang. Tak ada satu pun yang buka. Bahkan penjual martabak yang biasanya masih berjualan sampai pukul dua pagi pun sudah tidak ada.

Dengan tenaga yang tersisa, aku berlari ke depan pos, mengambil kursi. Kemudian, ditaruh di dekat gerbang. Sepanjang malam, aku duduk di sana, sambil menatap jalanan yang sepi.

________

Tak terasa adzan subuh berkumandang. Aku bangkit dari duduk, lalu berjalan ke masjid di dekat rumah sakit.

Sekembalinya dari sholat subuh, suasana di depan rumah sakit sudah agak ramai. Mulai banyak kendaraan yang hilir mudik. Aku tetap duduk di dekat gerbang, sambil menunggu Mahmud atau Bahar datang.

Tubuhku sudah mulai terasa lemas. Kusentuh kening dengan punggung telapak tangan, hangat. Perut pun daritadi terus berbunyi minta segera diisi.

Para pekerja rumah sakit sudah mulai pulang. Berlalu melewatiku. Beberapa dari mereka bertanya alasanku duduk di dekat gerbang. Namun, aku tak menjawab alasan sebenernya. Lebih banyak menjawab dengan candaan.

"Ngapain lu duduk di sini, Din?" tanya Bahar yang baru saja datang.

"Iseng aja," sahutku.

Bahar berlalu dengan motornya, menuju tempat parkir. Aku pun bangkit sambil membawa kursi ke pos. Kemudian duduk di depan pos.

Tak lama Bahar sudah kembali dari parkiran. "Lu kenapa, Din?" tanyanya.

"Emang kenapa, Har?"

"Muka lu pucet bener. Sakit?"

"Agak puyeng nih, ditambah laper juga. Gara-gara warkop depan tutup."

"Oalah, dah sono cari sarapan. Abis itu balik terus tidur."

Aku pun berjalan ke depan rumah sakit. Terlihat ada pedagang bubur ayam yang sudah mangkal.

Setelah makan, aku kembali ke pos. Ternyata Mahmud sudah datang. Melihat wajahnya membuatku teringat kejadian kemarin.

"Sehat, Mud?" tanyaku sambil tersenyum, mendekat.

"Lah, bukannya lu yang sakit?" sahutnya.

"Enggak kok. Tadi emang laper aja," elakku.

"Kemaren gak kenapa-napa, kan, Mud?"

"Maksudnya?"

"Gak ngerasain ada sesuatu gitu."

"Ah! Lu udah tau, Ya?" Mahmud baru mengerti ucapanku. "Asli pantesan motor gw berat banget kemaren. Terus pas sampe rumah ini pundak pegel bener, dah kaya abis ngangkut beras."

"Iya, itu kerjaan si Mita."

"Mita siapa?" sahut Bahar.

"Setan yang lagi gentayangan di sini," balas Mahmud.

"Ih ... gw kira ngomongin apa."

"Semalem jaga sendiri aman, Din?"

"Aman."

"Yakin?"

"Iya."

Tiba-tiba, perutku terasa sangat mual. Tak lama aku pun muntah.

"Masuk angin lu, Din?" tanya Mahmud saatku membersihkan bekas muntahan.

"Enggak tau. Tiba-tiba mual."

"Efek gak makan itu, Din. Makanya laen kali kalau shift malem bawa cemilan. Biar kalau warung depan tutup bisa ada ganjelan ampe pagi," ucap Bahar.

Tubuhku terasa lemas. Suhu tubuh pun terasa panas. Kepala seperti ditusuk-tusuk jarum, pusing.

"Dah sana balik, Din. Istirahat, tidur. Jangan lupa minum obat dulu."

"Iya, Har."

"Gw anter aja dah, takut kenapa-napa di jalan," sahut Mahmud.

Mahmud meminta kunci motorku. Lalu memboncengku pulang ke kosan. Dia juga membelikanku roti dan obat, sebelum kembali ke rumah sakit.

Entah efek obat atau kepalaku yang memang sudah sangat berat. Baru beberapa saat berbaring, aku sudah tidur.

*

Tok! Tok! Tok!

Sayup-sayup terdengar suara seseorang mengetuk pintu. Aku pun bangkit dengan mata masih setengah tertutup. Menggapai gagang pintu, lalu membukanya.

"Din," sapa Seseorang di hadapanku.

Aku langsung membuka mata lebar-lebar saat melihat Mas Karno sudah berdiri di depan pintu.

"Hua!" teriakku seraya membanting pintu.

Bersambung

Panggilan Telepon Dari Kamar Mayat [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang