Air Terjun

32.1K 2.6K 163
                                    

Kriet!

Pintu salah satu ruang inap terbuka. Deg! Jantungku seakan-akan berhenti berdetak, diikuti tatapan mata yang membesar. Seorang perawat ke luar.

"Kenapa ngeliatinnya begitu, Mas?" tanyanya heran.

"Ah, enggak," elakku. Ternyata perawat yang tadi kuantar, bukan Suster Diana. Saking takutnya aku sampai lupa kalau dia memang ada di ruangan itu.

Perawat itu berjalan menghampiriku. "Mas pake minyak wangi melati?"

Spontanku langsung mengedus baju. Tak ada wewangian apapun. "Enggak, Mbak."

"Terus siapa yang pake minyak wangi melati?"

"Gak tau, Mbak." Dalam hatiku berkata, mungkin itu wangi dari Suster Diana.

"Ih, saya jadi merinding."

"Mbak udah selesai?" tanyaku.

"Belum, Mas. Bentar ya, dua kamar lagi."

"Oke, Mbak. Saya tunggu di sini." Ah! Aku harus menunggu di lorong sepi ini lagi.

Perawat itu berlalu melewatiku, menuju ruang inap lainnya. Sementara aku sedang menenangkan diri sambil bersiap-siap, bila ada yang tiba-tiba muncul.

Dug! Dug!

Suara hentakan kaki menggema di lorong sebelah kiri. Spontan aku menoleh, tapi tidak ada siapa-siapa. Aku pun berjalan ke depan ruang inap tempat si Perawat tadi masuk.

"Ih, Mas! Ngagetin aja!" ucapnya saat mendapatiku sedang berdiri di depan pintu. "Tunggu ya, Mas. Satu lagi." Dia pun berjalan ke ruang inap terakhir.

"Oke, Mbak," balasku sedikit malu.

Kini aku sendirian lagi, kembali celingak-celinguk tak jelas. Tak lama tercium bau busuk. Sudah pasti, kali ini kerjaan Mita.

Aku sudah mengambil sikap siaga. Sambil menyandarkan punggung ke tembok. Tak mau tiba-tiba dia muncul dari belakang.

Saat melihat ke arah kanan. Mita sudah berdiri di ujung lorong, sambil menundukan kepala. Membiarkan rambut panjangnya menutupi sebagian besar tubuhnya.

"Astaghfirullah."

Perlahan, Mita melayang ke arahku. Sontak aku langsung memejamkan mata, seraya komat-kamit merapal doa.

Puk!

Terasa sentuhan di pundak. "Jangan ganggu saya, Mita!" ucapku sedikit berteriak.

"Mita siapa, Mas?" balas Suara seorang wanita. Suaranya tidak mirip dengan Mita. Kubuka mata, benar, bukan Mita.

"Mita siapa, Mas?" tanyanya lagi.

"Ah, bukan siapa-siapa," elakku.

"Terus Mas ngapain senderan ke tembok sambil tutup mata? Abis liat sesuatu, Ya?" selidiknya.

"Enggak, Mbak. Saya cuman ngantuk," elakku.

"Efek tadi pagi kurang tidur," imbuhku.

"Oh, kirain liat sesuatu. Yuk, Mas! Saya sudah selesai," ajaknya.

Kami pun bergerak ke luar dari lorong. Kembali harus dihadapkan dengan selasar panjang dan taman. Dengan langkah cepat, kami pun melalui selasar itu.

"Makasih ya, Mas," ucap Perawat itu.

"Iya, Mbak."

Perawat itu pun berjalan ke ruangan khusus perawat, sementara aku berjalan menuju pos.

Setibanya di pos, kepalaku tiba-tiba pusing.

"Udah, Din?" tanya Mas Karno.

"Udah, Mas," balasku seraya duduk.

"Napa, Lu? Kayanya capek banget."

"Kepala saya tiba-tiba pusing, Mas."

"Lu rebahan di dalem apa. Jangan di sini, entar kena angin malem malah tambah sakit."

Aku masuk ke dalam pos, mulai merebahkan diri di lantai. "Mas, kalau mau patroli bangunin saya, Ya!" teriakku  dari dalam pos.

"Lu santai aja, malem ini gw juga males patroli," sahutnya.

Kuambil tas kecil untuk dijadikan bantal. Lantai yang dingin tak menghalangiku untuk segera tidur. Karena kepala ini sudah terasa semakin berat. Tak lama, aku pun tertidur.

_______

Gemericik air terdengar dari kejauhan. Aku berjalan mengikuti sumber suara itu. Melewati jalan setapak yang penuh dengan bebantuan. Serta pepohonan yang menjulang tinggi, di kiri dan kanan. Semakinku melangkah maju, semakin deras suara air itu.

Tiba di ujung jalan setapak, aku bisa melihat sebuah air terjun yang sangat indah. Bentuknya berbeda dengan air terjun pada umumnya. Karena aliran airnya berbelok sedikit di tengah-tengah, sehingga mirip sekali dengan perosotan.

Cukup lama aku menatap keindahan alam ini. Sampai aku menyadari ada seseorang yang sedang duduk di atas bebatuan dekat air terjun. Seorang wanita yang sedang membasuh rambutnya yang panjang.

Ada sebuah daya tarik yang membuatku berjalan menghampirinya. Ia tetap duduk membelakangiku. Tak sadar dengan kehadiranku.

Saat jarakku hanya tinggal beberapa langkah darinya. Ia pun menoleh ke arahku, sambil mengibaskan rambutnya yang basah. Reflek mataku menutup, untuk menghindari cipratan air yang datang tiba-tiba.

Kuusap wajah yang basah, kemudian membuka mata. Dihadapanku sudah berdiri wanita cantik. Semakin lama kulihat, wajahnya mirip dengan ... Mita.

Mita tersenyum. Tidak hanya bibirnya saja yang tersenyum, matanya pun begitu.

"Biasanya jika aku sedang banyak masalah, pasti datang ke tempat ini. Tempat yang sangat indah dan nyaman, untuk berkeluh kesah. Orang-orang takan bisa melihat air mataku, karena tertutup air terjun yang menyejukan," ucapnya.

Tiba-tiba aku terbangun dari tidurku. Membuka mata sebentar, lalu menutupnya kembali. Memikirkan mimpi tadi.

Hawa dingin terasa di telapak kaki. Aku pun menggerak-gerakan kaki, agar tak terasa dingin. Namun, hawa dingin itu kian menjadi-jadi, seperti sedang berendam di air es.

Aku kembali membuka mata, lalu menatap ke area kaki.

"Astaghfirullah!" Spontanku berteriak, saat melihat Mita sedang jongkok di dekat telapak kakiku. Wajahnya tidak secantik yang di mimpiku tadi.

"Hari ini, saya ingin sekali pergi ke sana. Tempat yang tak jauh dari rumah," ucapnya lalu menghilang.

BERSAMBUNG

Panggilan Telepon Dari Kamar Mayat [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang