Tanpa Identitas

37.2K 2.7K 235
                                    

Pak Kosim berjalan ke arah meja, lalu mengambil sesuatu dari laci meja tersebut. Sebuah berkas berwarna biru.

"Sebaiknya jangan cerita di sini." Pak Kosim mengajakku ke luar. Kami pun berjalan ke arah mushola. Kemudian duduk di kursi dekat sana.

Pak Kosim menyerahkan berkas itu padaku. "Adek mau liat?" tawarnya.

"Ini apa, Pak?" tanyaku.

"Ini berkas kematiannya Mita. Di dalamnya ada foto-foto kondisi jenazahnya waktu pertama kali datang ke sini," jelasnya.

"Duh, Pak. Saya gak berani ah. Takut kebayang-bayang entar."

"Ya sudah, biar bapak jelaskan aja." Pak Kosim mengambil berkas dari tanganku. Ia membuka berkas itu. Aku sedikit mengintip, benar ada foto-foto jenazah. Beruntung aku tak melihatnya dengan jelas, karena spontan langsung mengalihkan pandangan.

"Tepat seminggu lalu, polisi menemukan jenazahnya di pinggir tol jagorawi. Tanpa identitas. Di lokasi, hanya ada tas berisi pakaian yang tegeletak di dekatnya." Pak Kosim mulai bercerita.

"Ada beberapa luka tusukan di tubuhnya. Dua dibagian perut dan satu di bagian punggung. Polisi beranggapan kalau dia telah menjadi korban pembunuhan. Dengan motif menguasai harta," sambungnya.

Pak Kosim mengambil salah satu foto. Dengan cepat aku kembali memalingkan wajah.

"Gak usah takut. Toh adek udah pernah ketemu langsung sama dia."

"Emang foto apa itu, Pak?" tanyaku masih memalingkan wajah.

"Foto wajah jenazahnya. Bapak cuman pengen tau, bener gak dia yang adek liat semalem?"

Perlahan aku menoleh, menatap foto yang ada di tangan Pak Kosim. Benar. Wajahnya sama persis dengan yang kulihat semalam.

"Iya, Pak. Itu dia. Mita."

Pak Kosim kembali memasukan foto wajah Mita ke dalam berkas. "Berarti bener namanya Mita."

"Adek tau gak kenapa dia sampe meneror adek?" sambungnya.

"Saya juga gak tau, Pak. Padahal saya baru kerja di sini."

"Hmm, oh ya, tadi adek bilang kalau dia punya keluarga dan dia bilang tempatnya bukan di sana."

"Iya, Pak. Dia bilang begitu."

"Hmm, berarti dia pengen jenazahnya dikembalikan sama keluarganya."

"Terus gimana cari alamat keluarganya, kalau indentitasnya aja gak ada?"

"Bapak juga bingung. Soalnya kalau permintaannya gak dituruti, bapak khawatir dia bakal terus ganggu orang-orang yang ada di rumah sakit."

"Aduh, Pak. Jangan nakutin gitu."

"Bapak juga pernah punya pengalaman seperti ini. Bedanya, polisi bisa identifikasi lebih cepet. Jadi bapak bisa buru-buru memulangkan jenazahnya ke keluarganya," ucap Pak Kosim.

"Kasus Mita ini beda. Udah seminggu polisi masih belum menemukan titik terang," imbuhnya.

"Biasanya berapa lama jenazah tanpa identitas disimpan di lemari pendingin?"

"Paling lama sebulan. Kalau gak ada keluarga yang ngejemput atau mengakui, jenazahnya bakal dimakamin di belakang rumah sakit."

"Berarti ada kemungkinan Mita bakal terus neror sampai sebulan?"

"Bisa jadi enggak. Kalau dia terus ngerusak lemari pendingin, bapak bisa memakamkan jenazahnya lebih cepat."

Dalam hatiku berharap ia terus merusak lemari pendingin. Sehingga bisa segera dimakamkan dan berhenti menerorku.

"Semoga aja polisi bisa segera nemu titik terang, supaya Mita bisa kembali ke keluarganya," ucapku.

"Semoga aja ya, Dek."

"Ya udah, Pak. Saya pulang dulu."

"Iya, Dek. Bapak juga mau balik ke kamar mayat."

"Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

Aku pun berjalan menuju parkiran. Tiba di parkiran, langsung menyalakan motor.

Tet!

Kutekan klakson sambil menghentikan motor di depan pos. "Mud, Har, gw balik dulu ya," pamitku pada Mahmud dan Bahar.

"Iya, Din," sahut Mahmud.

Aku pun melaju menuju kosan. Kebetulan letaknya tidak terlalu jauh dari rumah sakit. Sepanjang perjalanan menuju kosan, kepala ini terasa berat sekali dan pusing. Ditambah rasa pegal yang teramat sangat di pundak. Beberapa kali seperti kehilangan fokus, hingga hampir menabrak kendaraan lain.

"Kayanya harus buru-buru tidur. Pusing banget," ucapku dalam hati, mencoba tetap fokus.

Setibanya di kosan, aku langsung merebahkan badan di atas kasur. Tak lama aku pun tertidur.

Entah pukul berapa aku kembali terbangun dengan badan menggigil dan kepala masih terasa berat. Kosan yang biasanya terasa panas pun tiba-tiba menjadi dingin.

Dalam keadaan mata terpejam kumatikan kipas angin. Kemudian, menarik sarung untuk menutupi area kaki yang terasa dingin.

______

Brug!

Suara benda terjatuh membangunkanku. Saat membuka mata, kipas angin di dekatku sudah tergeletak di lantai. Kubetulkan posisi kipas angin itu, lalu menatap jendela. Langit sudah terlihat gelap.

"Astaghfirullah, jam berapa ini?" gerutuku seraya mengecek jam tangan yang kuletakan di dekat kasur.

"Ya Allah, udah jam enam," ucapku seraya bangkit. Rasa pusing di kepala kembali kurasakan. Membuatku sedikit sempoyongan saat berlari ke kamar mandi.

Setelah mencuci muka dan membasuh badan seadanya. Aku pun kembali ke kamar.

Tek!

Kutekan sakelar, tapi lampunya tak menyala. Terpaksa harus mengganti baju dalam keadaan gelap.

Brug!

Kipas angin yang berada di belakangku lagi-lagi terjatuh. Semilir angin dingin menerpa tubuhku yang masih belum mengenakan baju. Diikuti wangi kapur barus bercampur bau busuk. Bulu kuduk di area punggung pun berdiri. Seperti merasakan ada sesuatu di belakangku.

"Saya tidak akan pergi sampai kamu mengantarkan tubuh saya ke tempat yang seharusnya." Suara lirih itu terdengar tepat di belakangku. Suara dari sosok yang beberapa hari ini menggangguku, Mita.

BERSAMBUNG

Panggilan Telepon Dari Kamar Mayat [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang