XII. ʙʀᴏᴋᴇɴ ʜᴇᴀʀᴛ

997 154 27
                                    

Sore itu. Jika saja Doyoung tahu bahwa itu adalah waktu terakhir kalinya dapat melihat wajah sang adik, ia akan memeluk Junghwan tanpa melepaskannya. Lagi-lagi Doyoung tidak direstui oleh semesta untuk merasakan sebuah kebahagiaan yang abadi.

Tepat setelah mencurahkan hati dengan sang adik. Doyoung, Jihoon dan sang bunda memutuskan untuk pulang kala sang dokter berkata, bahwa kesehatan Doyoung sudah stabil dan berkata bahwa Doyoung tidak perlu dirawat di rumah sakit.

Keesokan harinya Junghwan telah diperbolehkan untuk pulang saat penyakit itu musnah bagai keajaiban, anak itu berkata akan pulang sendiri menggunakan taksi. Bunda dan kedua kakak setuju untuk itu, mereka juga mengerti Junghwan butuh ruang untuk sendiri saat pertama kali berhasil keluar dan melihat dunia tanpa rasa kecemasan penyakit yang selalu menghantui.

Bayangan kebahagiaan sudah terbayang dalam benak Junghwan.

Namun hanya sekilas.

Ketika sebuah bus kehilangan kendali mengarah pada mobil taksi yang Junghwan tumpangi, sang pengemudi tidak bisa melakukan apa pun. Mobil itu terpental keras berbalik berkali-kali, kala bus besar menghantam keras mobil kecil itu.

Nyatanya hanya memori kebahagian yang telah lalu, pada akhirnya tergambar sebelum pemuda penuh dengan darah itu menghela napas terakhirnya dan pergi untuk selamanya.














Kim Junghwan dinyatakan meninggal dunia, setelah sembuh dari penyakit mematikan itu.

⫹⫺

Pemuda dengan tuxedo nuansa hitam lengkap itu berdiri di tengah-tengah derasnya hujan. Surai merah itu berantakan tidak beraturan, menandakan sosok itu tidak merawat diri selama beberapa hari. Upacara pemakaman sedang dilakukan di bawah langit gelap dengan tumpahan air yang deras membasahi setiap payung hitam yang berada di atas sosok yang berduka. Banyak yang terlintas dalam benak Doyoung saat ini.

Anak itu tidak mengerti, mengapa setiap orang yang dicintainya harus pergi dan menghilang dari sisinya. Dengan wajah yang kering akan air mata, ia berusaha menatap batu nisan sang adik. Kakinya melemas tidak pernah menyangka sang adik pergi meninggalkan dunia secepat ini. Terlalu lemas untuk meraung kembali dalam tangis, lutut Doyoung menghantam keras tanah yang basah akan air hujan.

"bagaimana bisa kau membuat takdir seperti ini? Apa kau tidak memikirkan aku?" Doyoung melirih, matanya melihat gumpalan tanah di hujani air dengan sayu. Jihoon ikut terduduk dengan sang adik, bersama payung hitam yang setia ia genggam.

"Doyoung, ayo bangun." Jihoon berbisik parau pada sang adik.

"Ini nggak nyata kan, kak? Junghwan nggak pergi. Yang ada di dalam itu bukan Junghwan kan? Ini mimpi kak." Doyoung menatap sang kakak dengan air mata yang siap tumpah kapan pun. Memohon kepada sang kakak untuk mengatakan bahwa semua ini tidak nyata.

Jihoon membeku, tatapan sang adik saat ini benar-benar membuat hatinya hancur. Wajah yang sepenuhnya memerah, tubuh sang adik yang bergetar hebat ketika Jihoon menyentuhnya. Mata sayu penuh akan kesedihan, sosok Doyoung yang biasa Jihoon lihat, saat ini benar-benar lenyap.

"Doyoung. Ini nyata, maafin kakak."
Bisik Jihoon kepada Doyoung.

"Nggak! Ini ngga nyata!" Tiba-tiba saja Doyoung berdiri dengan spontan. Mendorong sang kakak yang sedang menyentuh punggungnya hingga terduduk pada tanah basah.

"INI NGGAK NYATA! KALIAN BERDOA BUAT SIAPA? JUNGHWAN ADA! DIA UDAH SEMBUH!" Teriakan Doyoung terdengar nyaring di tengah-tengah keheningan. Setiap orang yang hadir dalam upacara pemakaman itu terkejut. Termasuk Jihoon dan sang bunda.

Sisi Gelap | Kim Doyoung ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang