II. ᴛʜᴇ ᴏᴛʜᴇʀ ꜱɪᴅᴇ ᴏꜰ ʜɪᴍ

1.4K 233 25
                                    

Sudah satu tahun sejak Junghwan dikabarkan sakit yang mustahil bisa disembuhkan. Walaupun begitu, Doyoung selalu berkunjung ke rumah sakit untuk melihat adiknya secara rutin, ia yang selalu berusaha merawat adiknya itu. Sementara kedua orang tuanya yang bertengkar lantaran tidak kuat lagi membayar biaya rumah sakit Junghwan. Sedangkan Jihoon, kakak Doyoung sibuk mencari pekerjaan. Doyoung hampir tidak pernah melihat wajah kakak tersayangnya itu di rumah.

Doyoung memasuki ruang rawat Junghwan yang sudah ia kunjungi selama sekolah menengah atas. Selepas mengikuti kelas tambahan, Doyoung segera pergi ke rumah sakit. Tidak lupa dengan makanan dari sang bunda yang setia bertengger pada tangan Doyoung satu tahun terakhir ini.

"Junghwan?" Doyoung memanggil sang adik dengan begitu lembut.

"Iya, kak. Tumben datangnya telat." Lamunan Junghwan buyar ketika suara sang kakak mengalihkan atensinya.

"Iya. Kakak ada kelas tambahan tadi, wan." Jawab Doyoung seraya meletakkan makanan pada nakas. Mendengar itu Junghwan hanya mengangguk dan melanjutkan lamunannya.

"Kak, apa itu karena Junghwan?"

"Hm? Apa maksudmu?" Tanya Doyoung kembali dengan kerutan halus di keningnya. Tidak mengerti dengan apa yang ditanyakan secara mendadak dari sang adik.

"Kakak berubah."

"DEG!"

Itu adalah kalimat yang berusaha mati-matian Doyoung hindari. Namun Doyoung tahu, cepat atau lambat seseorang akan bertanya seperti itu kepadanya. Hanya saja ia tidak menyangka bahwa orang itu adalah Junghwan. Adiknya.

"Apakah terjadi sesuatu di rumah selama Junghwan di sini? Junghwan nggak pernah liat kak Doyoung senyum lagi. Kehilangan senyum kakak dalam hidup Junghwan adalah hal yang nggak pernah Junghwan kira, kak. Aku rindu kak Doyoung yang dulu." Ucap sang adik dengan mata yang berkaca-kaca. Kalimat panjang yang mengalun pada telinga Doyoung begitu sungguh-sungguh, darah Doyoung berdesir ketika mendengarnya dari sosok seorang adik.

Doyoung bungkam. Mengapa dari kata-katanya saja hati Doyoung sudah teriris? dari mana Junghwan belajar berbicara?

Ahh, ia lupa bahwa dirinya sendiri memiliki kesamaan dengan sang adik. Pintar merangkai kata dan selalu berhasil membuat siapa pun yang mendengarnya akan terharu.

"Maaf, Junghwan. Kakak gagal menjaga semuanya. Cinta, kasih sayang, keluarga yang harmonis, dan rasa bahagia itu sudah pergi." Doyoung berujar jujur. Dengan kepala yang tertunduk serta tangan yang bergetar hebat, ia lelah. Lelah bertahan di rumah yang terasa gelap, hampa, dihiasi teriakan amarah dari kedua orangtuanya.

"Kenapa kakak minta maaf? Kenapa kakak nggak pernah cerita ke Junghwan?" Junghwan menyerbu Doyoung dengan pertanyaan kembali, ia tidak mengerti mengapa Doyoung lebih memilih untuk memendamnya sendiri.

"Kakak nggak mau buat kau pusing karena keluhan nggak berguna dari kakak. Lebih baik Junghwan fokus buat sembuh." Perlahan air mata turun dari kelopak mata Doyoung, yang dahulunya selalu digunakan untuk menggambarkan kebahagiaan.

Ini pertama kalinya Junghwan melihat seorang Kim Doyoung kakaknya yang penuh dengan tawa, menangis dihadapan nya. Sesak, itu yang dirasakan Junghwan.

"Kakak jangan egois. Bagi Junghwan kakak itu obat. Tanpa kakak, aku nggak bisa sembuh. Lagi pula Junghwan selalu siap untuk mendengarkan keluh kesah kakak."

Gerakan tidak terduga, Junghwan turun dari ranjangnya meraih tubuh sang kakak dan mulai memeluknya. Doyoung tertunduk dalam diam, tidak ingin melanjutkan percakapan ini. Junghwan mengerti kakaknya itu sedang dalam dunianya yang hancur, begitupun keluarganya, kalimat yang menutup percakapan ini adalah-









Sisi Gelap | Kim Doyoung ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang