XVIII. ʙʀɪɢʜᴛ ꜱɪᴅᴇ

1K 129 17
                                    

Junkyu terbangun ketika mendengar suara ranjang yang menderit. Ia mengerjapkan matanya menatap pantulan cahaya pada langit-langit ruangan rumah sakit di tengah-tengah kegelapan. Junkyu bangkit dari tidurnya dan menatap teman-temannya masih terlelap, ia membuka ponselnya waktu menunjukkan pukul satu pagi. Junkyu berbalik masih dengan posisi duduknya menatap sumber suara derit ranjang.

Itu Doyoung menatap Junkyu dengan canggung.

Sedangkan Junkyu hanya mendatarkan wajahnya seraya berdiri kemudian berjalan mendekati Doyoung.

"Ngapain?"

"Ini masih jam berapa? Seharusnya kau masih tidur." Helaan napas berat Junkyu lakukan, sedangkan Doyoung hanya menatap pada satu objek di atas kasur.

Junkyu mengusap wajahnya kasar dan duduk pada tepi ranjang. Sebenarnya ia sendiri tahu, bahwa mengomeli seorang Kim Doyoung tidak akan berguna, namun jika tidak melakukannya, itu akan membuatnya lebih menyesal.

"Oh, lagi menulis," ucap Junkyu mengangguk-angguk.

Melihat tatapan Junkyu yang mengarah pada bukunya, Doyoung segera membalikkan ke arah ranjang seperti mencegah agar Junkyu tidak melihat, kini hanya menampakkan cover biru dengan awan putih. Junkyu terkekeh gemas walaupun Doyoung tidak menunjukkan ekspresi wajah sedikit pun.

"Junkyu." Panggil Doyoung dengan wajah datarnya.

"Iya?"

"Apa kau pernah benci dengan sosok ayah?"

Junkyu terdiam sejenak. Sungguh, ia tidak ingin membicarakan tentang sosok ayah, itu hanya mengingatkan luka. Tapi tidak apa, selagi Doyoung yang meminta.

"Kalau membahas soal benci dan membenci, tentu saja kita sebagai anak punya hak untuk itu." Ujar Junkyu, seraya menatap dalam pada Doyoung di tengah-tengah kegelapan, yang hanya dihiasi cahaya lampu remang dari nakas.

"Seberapa dalam kau membenci dia?"

Junkyu tersentak.

Seperti biasa, Doyoung selalu berhasil membuat Junkyu terkagum dalam cara berbicaranya. Siapa pun akan jatuh dalam pesona seorang Kim Doyoung.

"Aku benci dia."

"Sangat."

Jeda untuk beberapa saat, Junkyu berusaha mengatur napasnya yang mulai tidak beraturan. Kepalanya kembali memutar memori masa lalu ketika seorang ayah egois dan memilih meninggalkan keluarga yang ia dirikan sendiri.

"Tapi waktu terus berjalan, tanpa disadari aku merelakan dia."

Junkyu terkekeh dengan wajah miris seraya menggelengkan kepalanya. Berpikir, bahwa sulit mempercayai hal yang menyakitkan itu benar-benar telah terjadi dalam hidupnya.

"Siapa pun yang pergi dari sisi kita, akhirnya juga kita lagi yang harus merelakan, bukan begitu?"

Entah mengapa Doyoung tidak mampu menjawab, pemuda itu hanya menatap Junkyu dalam diam. Padahal, ia ingin sekali mengangguk setuju dengan ucapan Junkyu saat ini. Melihat reaksi Doyoung, Junkyu hanya tersenyum dan menepuk pelan bahu yang lebih muda dengan lembut. Beranjak dari duduknya, Junkyu berniat kembali terlelap dalam tidurnya. Namun dengan cepat ia mengurungkan niatnya kembali ketika tangan Doyoung menahan lengan milik Junkyu. Junkyu tersentak dan kembali menatap Doyoung bertanya.

"Ada apa?"

"Junkyu.." suara itu bergetar, sebuah lirih pedih dari Doyoung sukses membuat Junkyu khawatir bukan main.

"Doyoung, kau harus tenang," dengan tergesa-gesa Junkyu menarik sebuah kursi dan mendudukinya, dengan tangan Doyoung yang masih ia genggam.

"Ada apa? Mau ngomong sesuatu?" Ujar Junkyu dengan lembut lengkap dengan tatapan khawatirnya ketika melihat Doyoung berusaha mengontrol napasnya yang terengah-engah. Setelah beberapa saat, Doyoung kembali menatap Junkyu.

Sisi Gelap | Kim Doyoung ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang