II. MERAWAT HARMONI - Terjebak Canggung

607 27 1
                                    

"Jadi, tujuan kamu ngajak aku ke sini sebenarnya juga untuk ngejar Pak Hartono?!" Tari bernada cukup tinggi dan menatapku dengan lamat.

Aku tak mampu menatap sang istri, lantas menundukkan wajah. Berbicara jujur saja rasanya aku tidak mampu, pasti itu bisa membuat hatinya sakit.

"Tari—"

"Jawab, Ndra! Jawab aku!" Ia berteriak lagi, tatapannya sendu, memancar kekecewaan yang begitu mendalam.

"Aku bisa jelasin—"

"Kamu pernah janji apa sama aku?! Kamu pernah janji apa, Ndra? Jawab!"

Baru kali ini aku melihat sisi keras di dalam diri istriku. Namun, semuanya memang salahku. Akulah yang salah, bukan salahnya. Aku mengkhianati kepercayaannya, mengkhianati janji yang telah kuucap padanya.

"Maaf," ucapku lirih.

Nelangsa sudah hati ini. Telah kelam suasana ini. Murkalah orang yang selama ini sangat percaya padaku.

"Aku mau kita pulang ke Indonesia!" Tari menegaskan.

Kembali perempuan itu memasukkan pakaian-pakaian ke dalam koper.

"Tari, tunggu, Tari! Kamu nggak bisa gitu. Aku udah janji sama kamu untuk membawa kamu melihat—"

"Batal! Aku nggak mau ada di sini. Kalau kamu nggak mau kita balik ke Indonesia, aku akan pulang sendiri!"

Lagi-lagi perempuan itu menatapku dengan begitu lamat. Seakan menegaskan bahwa aku tidak punya pilihan lain lagi. Belum kering sisa air mata di maniknya, kini kembali berderai hebat. Tari roboh ke dalam tubuhku. Ia lemah tak berdaya sambil membentur-benturkan tangannya di dadaku.

"Kamu jahat, Andra! Kamu jahat dan kamu sudah membohongi aku—istri kamu!"

Tanganku terangkat perlahan, meraih bahu Tari, tetapi ia kemudian menepisnya.

Tak berselang lama, ia mendorongku dengan tenaga cukup besar.

"Tari, tunggu dulu—"

"Keluar, Ndra. Aku mau sendiri," ucapnya sambil terus mendorong tubuhku.

Terpaksa, langkah membantu tenaga dorongnya. Aku pasrah ketika Tari menutup pintu kamar dengan cukup keras.

Kulangkahkan kaki gontai menuju sofa di ruang tamu. Nelangsa tak sirna, justru semakin datang memporak-poranda rasa di kedalaman kalbu. Sendu tak mau pergi dari wajah, justru semakin menghantam, mengamuk dan berusaha menguasai. Kalut terus singgah, memompa darah, menegaskan aku telah bersalah, bersalah, bersalah.

Aku beranjak dari sofa, mondar-mandir di depan televisi sambil menyilangkan tangan di depan dada. Air mata merintik bersamaan dengan hati menjerit pekik.

Kujejakkan langkah ke kamar, bersiap mengetuk pintu. Aku urungkan niat seketika mengingat kata-kata Tari yang ingin sendiri. Akhirnya, aku menjejak lagi ke sofa, membanting tubuh sementara kepala telah sakit tak tertahan. Begitu seterusnya hingga malam tiba.

Hari telah berganti malam, Tari tak kunjung keluar. Dia sepertinya benar-benar kecewa dan marah terhadapku. Bagaimana ini?

Ia belum makan sedari siang. Hal itu yang aku pikirkan. Aku takut ia sakit, takut ia benar-benar tidak ingin berbicara lagi padaku.

"Tari. Keluar, Sayang. Kita cari makan, yuk. Kamu, kan, dari siang belum makan."

Aku mengetuk pintu. Tak ada jawaban.

"Tari. Ayo, dong. Jangan siksa diri kamu dengan cara seperti itu."

Kembali aku mengetuk pintu. Tetap tak ada jawaban. Ternyata, aku telah benar-benar menyakiti hatinya. Telah benar-benar membuat amarahnya bangkit seketika.

I AM YOUR BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang