II. MERAWAT HARMONI: Kalang Kabut

520 26 0
                                    

Entah berapa lama, kesadaran perlahan kembali pada diriku. Namun, sayangnya aku tidak bisa membuka netra. Hanya suara-suara riuh yang terdengar di telinga.

"Andra! Aku mohon bertahan, Andra! Aku mohon!"

Tubuhku seperti berada di atas sesuatu, terasa berjalan dan dikelilingi banyak orang. Yang jelas, aku mendengar suara milik perempuan yang sangat kukenal. Benar, Tari. Aku pun yakin bahwa saat ini sedang dibawa ke rumah sakit. Biarlah aku tidak dapat melihat apa pun. Sesungguhnya aku tidak ingin melihat wajah hancur istri tercintaku.

"Please, help him! Please, Doc. Please!"

Meski tak dapat membuka mata, tetapi cairan bening berusaha mengucur dari sudut-sudut netra. Ini semua karena mendengar rintih permintaan tolong sang istri.

Maafkan aku, Tari.

Seandainya saja aku tidak bertemu dengan Hartono, mungkin aku akan bisa melupakan tentang dendam ini dan pulang ke Indonesia untuk hidup secara normal dengan Tari. Namun, Tuhan berkata lain, bahwa Ia mempertemukanku dengan Hartono. Masalah ini memang karena diriku yang tidak bisa menahan emosi. Dendam membutakan mata hatiku, membuatku melupakan janji dan segala hal yang pernah kuucap pada Tari.

Aku berharap Tari memaafkan kesalahan terbesarku ini. Aku harap ia tetap mau mencintaiku, memperhatikan diriku, menerangi setiap langkahku di jalan-jalan penuh dendam.

Tak ada lagi yang dapat kuceritakan sebab tak lama kemudian, aku kembali terbalut ketidaksadaran.

-----

Angin sepoi mengurai rambut hitamku yang telah tumbuh cukup panjang. Di hadapanku membentang lautan luas, kemudian tampak bahwa diriku berada di sebuah bukit yang ditumbuhi dengan rerumputan hijau. Langit terlihat cerah dengan bentuk-bentuk awan yang bermacam-macam, terurai angin setelah cukup lama menciptakan teduh untukku.

Meski terik, tak sedikit pun menyengat kurasa. Kulit-kulitku bahkan tak dapat merasakan angin yang berembus sepoi. Ke manakah rasaku pergi?

Setelah cukup lama menyaksikan laut biru yang membentang luas, aku tertunduk. Tiba-tiba sedih membalutku. Perasaan apa ini? Rasanya begitu sakit dan menyesakkan. Ketika teringat segurat senyum dari sebuah wajah, tiba-tiba air mata menggenang di sudut netra. Aku menangis, bahkan tersedu dan memecah sunyi ketika hari ini aku sendiri.

Tari. Benar, ke mana istriku? Ke mana istri yang selalu menyiapkan sarapan untukku? Ke mana Tariku yang selalu membuatkan kopi biasa-biasa saja itu? Ke mana dia pergi? Namun, bukan hanya Tari yang tak ada. Semua orang tak ada. Rumah-rumah tak ada. Sebenarnya, ada di mana aku?

Aku sadar, lalu mendongakkan kepala sambil beranjak berdiri. Tempat yang asing. Aku berjalan memutar, lalu terhenti ketika berada di ujung bukit curam yang mana di bawahnya ialah lautan lepas. Mata kuedarkan, menoleh ke belakang, tak ada siapa pun.

"TARI!"

Aku mencoba berteriak, niatnya agar Tari mendengarku. Namun, aku tahu sekarang bahwa tempat ini bukanlah duniaku. Tempat ini bukanlah tempat semestinya aku berada.

Aku kembali menangis. Bagaimana caranya kembali? Kalut diriku sambil menggerutu, runtuh menitik air mata terpantik panik.

Setelah waktu berjalan cukup lama, aku menarik napas panjang, mulai mengembuskannya sambil memejamkan netra. Di dalam hati, aku berdoa kepada Tuhan untuk mengembalikan diri ini ke dunia asalku, ke dunia semestinya aku berada, dunia yang terhiasi oleh senyum sang istri—Tari.

-------

Untuk pertama kalinya membuka mata, ruangan tempatku berada tak ada siapa pun. Sepi. Mengarahkan mata ke atas, sebuah lampu menyilaukan. Leherku tidak mampu bergerak dengan cepat. Maka, perlahan aku tolehkan pandangan ke samping kanan. Aku melihat sebuah pintu tertutup.

I AM YOUR BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang