Senja yang Sirna

5.3K 231 5
                                    

 "Kenapa sekarang kamu berubah pikiran, Tari?" tanyaku sambil berposisi duduk. Tari bersandar di dada bidangku. Kami menyaksikan ombak yang dihiasi pantulan cahaya bulan yang begitu indah.

"Kamu lelaki yang baik, Ndra. Aku mungkin akan nyesel banget kalau sampai nolak kamu. Dan satu alasan kenapa aku berubah pikiran." Tari menundukkan kepalanya, beberapa detik kemudian ia menoleh ke belakang, melihat raut di wajahku.

"Apa memangnya?"

"Aku udah mulai ngerasa kalau aku jatuh cinta sama kamu."

Rasanya seperti terbang ke langit yang paling tinggi. Lama sekali aku tidak lagi mendengar seseorang mengatakan kata-kata cinta kepadaku. Meski begitu, kalimat yang baru saja keluar dari mulut Tari jauh lebih indah dari kata-kata cinta yang pernah diucapkan oleh Nadia ataupun Asyifa.

"Gimana sama kamu, Ndra? Apa ... kamu juga—"

"Sudah lama. Sudah lama sekali aku ngerasa di dalam diri kamu ada yang berbeda dari para perempuan lain. Aku cinta kamu, Tari. Lalu, seiring waktu berjalan, saat kamu pergi jauh dari aku, aku benar-benar ngerasa ada yang hilang. Aku pikir kamulah tulang rusukku." Aku menjeda, sedikit tertawa karena perkataanku sendiri. "Mungkin terdengar sangat—"

"Nggak, Ndra. Kamu benar. Aku juga sebenarnya udah punya perasaan ini sama kamu sejak lama. Tapi, waktu itu aku takut hatiku kamu rebut. Aku nggak berani berpikir kalau aku benar-benar jatuh cinta sama kamu. Aku takut kalau sampai akhirnya ngelupain niatku untuk merawat ...." Tari tak melanjutkan.

Meski begitu, aku sangat mengerti dengan apa yang ia sampaikan. Memang posisinya sangat sulit waktu itu. Ia terikat dengan janji dengan dirinya sendiri serta masih ada orang yang lebih penting dariku, yang harus ia urus dengan sepenuh hati.

"Nggak apa-apa. Jangan diteruskan kalau kamu nggak kuat." Aku elus rambut Tari kemudian.

Oh, Tuhan. Suasana malam ini sangat sempurna. Aku baru pertama kalinya merasa dalam hidup ini benar-benar hidup. Di waktu-waktu sebelumnya aku merasa mati. Bahkan sempat aku berpikir bahwa hidup tak ada artinya lagi. Akan tetapi, sekarang? Tentu saja, yang sekarang begitu berarti untukku. Semua yang tampak menjadi berwarna. Semua yang kelam telah sirna, meskipun tidak sepenuhnya karena diri ini masih punya satu masalah, yaitu dengan Asyifa dan keluarganya.

Esoknya, aku tidak ingin melewatkan momen yang begitu membahagiakan bersama dengan Tari. Selama masih ada di vila, aku memutuskan untuk menikmati saat-saat indah itu bersamanya. Sebelum kami melangkah lebih jauh ke pelaminan, aku harus menikmati keindahan yang berlabuh di hati bersamanya. Ya, aku tahu bahwa esoknya akan lebih indah lagi.

Aku mengajak Tari ke sebuah dermaga di sore hari untuk menikmati mentari tenggelam. Hal yang tak kalah romantis dari menyaksikan rembulan di malam hari.

Kami duduk bersebelahan sambil menjuntai kaki ke bawah. Tampak perahu-perahu kecil berlayar di kejauhan. Tari memejamkan mata sambil menghirup udara yang sejuk, kemudian ia embuskan dan membuka mata.

"Kamu senang?" tanyaku kemudian.

"Aku bahagiaaaaa banget, Ndra. Makasih, ya, atas semua yang udah kamu lakuin buat aku. Aku tahu rasa terima kasih aja emang nggak cukup untuk membalas kebaikan—"

Dengan lugas kulekatkan jari telunjuk di depan bibir merona Tari yang terbalut lipstik berwarna merah muda tipis. Namun, Tari kemudian mengalihkan pandangannya, menunduk, lalu menatap jauh pada laut yang membentang. Entah, mungkin dirinya merasa gugup atau sesuatu yang lain.

"Tahu nggak, Ndra. Aku selalu memaknai hidup ini dengan hal-hal yang ada di sekeliling kita. Aku berusaha mengartikan hidup yang aku jalani, yang diberikan Tuhan untukku."

I AM YOUR BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang