Gurat Senyum

5.6K 240 0
                                    

 Kehampaan yang tak berujung terasa menikam seluruh tubuh. Meskipun ada, tapi ragaku terasa meniada. Aku di mana? Apakah masih di pangkuan Tari? Ya, tapi kenapa kehangatannya tak lagi terasa? Atau jangan-jangan aku sudah mati? Semua tampak gelap, pekat, tak seberkas pun cahaya menyilau.

Aku merasa tangan kananku ada yang menyentuh, tapi tak dapat kulihat siapa yang menyentuhnya. Walau begitu, perasaanku benar-benar kuat dan yakin kulit yang menyentuhku ialah milik Tari.

Tak berselang lama, aku melihat seberkas cahaya. Dalam kepekatan tersebut, aku berusaha menggapainya, merasa bangkit, lalu semua terlihat benderang. Benda yang pertama kali kulihat ialah bohlam lampu sebagai satu-satunya penerang yang bercahaya. Cukup terang sehingga menyilaukan.

"An ... dr ... a ...."

Telingaku belum berfungsi dengan baik. Yang jelas, aku yakin suara yang menyebut namaku itu ialah Tari—perempuan yang sangat aku cintai dengan sepenuh hati. Apakah aku masih hidup? Tuhan masih memberikanku kesempatan melihat senyum dan sedihnya? Aku masih bisa melihat rautnya yang sendu. Terima kasih, Tuhan!

Tubuhku lemah, tetapi aku berusaha menggerakkan jari-jemari tanganku. Setelah itu perlahan memungsikan leher untuk menoleh dan melihat wajah Tari yang pastinya saat ini tengah dilanda nestapa yang luar biasa.

Sangat pelan, butuh beberapa menit untuk bisa memaksa leherku agar menatap ke arahnya. Tepat di sebelah kanan ranjangku ia kembali berderai air mata.

Aku ingin bersuara sehingga kusiapkan napas yang panjang. Aku tahu helaan dan embusan napas ini masihlah sangat berat bagi kondisiku yang lemah. Namun, aku tidak menyerah sehingga berhasil mengucap namanya untuk pertama kali.

"T ... a ... ri ...."

"Andra ...." Nada suara perempuan itu sangat rendah. Ia bekap mulutnya dengan rapat, lalu tampak tidak kuasa memelukku sehingga membaringkan kepalanya di atas dadaku.

Ah, aku benar-benar rindu padanya. Aku ingin menceritakan banyak hal pada perempuan tersebut. Aku ingin menceritakan apa yang aku lihat dalam ketidaksadaran. Apa yang aku alami pada kehampaan.

Beberapa menit Tari mendekapku, pria berjas putih datang—dokter di rumah sakit ini. Ya, sekarang aku ada di rumah sakit mengetahui keadaanku sangat lemah dan melihat infus melekat di tangan.

"Mba. Maaf, kita periksa dulu, ya, Pak Andranya," ucap dokter tersebut. Tari segera bangkit dan menjauh dariku. Ia menghapus tiap-tiap tetes air matanya dan kembali duduk dengan kursi yang terbuat dari stainless.

Dokter memeriksa diriku, melekatkan stetoskop di bagian jantung hingga beberapa detik saja.

"Sepertinya kondisi Pak Andra sudah cukup stabil. Saya bersyukur beliau masih bisa bertahan hidup setelah beberapa peluru kami keluarkan dari perut dan punggungnya. Saya cukup heran, padahal Pak Andra menggunakan rompi anti peluru. Tapi, saya menduga bahwa peluru dan senjata yang digunakan oleh tersangka bukan model dan produksi dari perusahaan senjata api sembarangan," jelas dokter tersebut.

"Alhamdulillah, ya, Allah. Alhamdulillah." Air mata Tari kembali bersimbah di wajah. Ia terlihat begitu haru.

"Kalau begitu, saya keluar dulu, ya. Kalau ada apa-apa, silakan panggil saya." Setelah melemparkan senyum lebar kepada Tari, sang dokter keluar dari ruangan.

Sekeluarnya dokter, masuklah Rasyid bersama pria berambut cepak yang merupakan teman sekaligus polisi. Aku sangat ingin mengetahui bagaimana nasib Hartono, berharap bahwa mereka berhasil menangkap tua bangka itu.

"Bagaimana keadaan Pak Andra, Mba?" tanya Rasyid pada Tari yang kemudian berdiri. Mereka bertiga melihat ke arahku yang tidak mampu memberikan respons apa-apa. Aku ingin menghemat tenaga, sekiranya nanti bisa kugunakan hanya untuk berbicara dengan Tari.

I AM YOUR BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang