Bertemu Tari

5.8K 246 3
                                    

 Aku tahu bahwa cinta tanpa pengorbanan adalah hampa tak ada makna. Mengatakan cinta, tetapi tak mau lelah menanggung luka dan perih. Apa yang aku rasa kini adalah alami dari Tuhan Sang Pengendali Hati. Ketika mendengar kabar tentang Tari yang diancam, bahkan disekap entah di mana, aku merasa telah menjadi seorang lelaki yang tak dapat melakukan apa pun.

Dengan tega aku membiarkan ia masuk dalam masalah pelik kehidupanku. Memang lucu, apakah benar cinta tidak harus memiliki sehingga akhirnya aku harus mengorbankan jiwa dan raga, kemudian menikah dengan Asyifa—wanita yang sama sekali tidak pernah aku cinta. Hanya benci dan rasa jijik yang aku miliki untuk Asyifa. Semua aspek kehidupannya membuatku bergidik, menggeleng tak suka.

Namun, kala Tari hadir setelah sekian lama diri ini terjajah oleh harta tua bangka itu, jiwaku merasa tentram. Nyaman yang kurasa kala ia bertutur kata. Lembut, kadang aku merasa seperti dirinya selalu memperhatikanku. Ketika aku marah, melihat wajahnya meredakan api di benak.

Ah, tetapi sayang bahwa aku harus mengorbankan cinta ini. Mungkin harus kukubur dalam-dalam agar ia bisa hidup dengan tenang.

Kemarin, aku meminta orang-orang suruhan Hartono untuk membawaku menuju tempat Tari disekap. Namun, mereka salah membawaku. Kini, berada di hadapan Ayifa dengan wajah hancur, bahkan terlihat air matanya belum mengering.

"Andra ...." Suaranya parau, memanggil namaku beberapa kali semenjak kedatanganku di kamarnya yang luas ini.

Aku menghela napas. Ia mendekatiku saat duduk di atas ranjangnya yang begitu empuk dan besar. Meski begitu, aku belum bersuara. Hanya desahan napas gusar yang kuberi telinganya untuk didengar.

"Kita akan bersama selamanya, Andra. Tenang, ya," ucapnya seperti orang yang telah hilang kewarasannya.

Aku mengaku prihatin, sedih atas apa yang terjadi dengannya. Namun, bukankah ini salahnya sendiri yang terjebak pada rasa frustasi, lalu melakukan hal di luar nalar? Dasar bodoh.

"Siapa yang menghamilimu?" tanyaku kemudian.

Asyifa membelai kepalaku. Ia mengusap-usap kedua pipiku dengan penuh rasa pilu di dada.

"Kamu, Ndra. Dan sebentar lagi kita akan jadi pasangan yang hidup bahagia."

"Saya bahkan tidak pernah menyentuh kamu, Asyifa. Bagaimana bisa kamu hamil oleh saya? Jujur saja, kamu bohong, kan, tentang diri kamu yang hamil? Atau kamu memang sengaja meminta orang lain menghamili kamu, lalu memaksa saya menikahi—"

"Andra, DIAM!" pekiknya memotong.

Raut di wajahnya berubah 180 derajat. Alisnya kini saling bertautan. Ia remas rahangku, memaksa mataku menatap pada dirinya.

"Kamu sudah tahu, kan, apa konsekuensi kalau kamu menolak? Sekretarismu akan ... mati ...."

Asyifa menyeringai jahat. Tak berselang lama bertatap murka, ekspresi di wajahnya berubah lagi. "Sayang ... aku rindu dengan kecupatan hangatmu. Bibir kamu ...."

Jemarinya kini menyentuh bibirku. Wajahnya perlahan-lahan mendekat pada wajahku.

Aku tak munafik, ia memang memesona dan mampu menggugah nafsu di dada. Seketika panas membakar hasrat. Namun, tak mungkin aku melakukan hal kotor ini dengan wanita sekeji Asyifa.

Segera aku sadar, kemudian mendorongnya ke depan. Ia terbaring di tempat tidur.

"Saya mau ketemu dengan Tari. Minta anak buah kamu mengantarkan saya. Secepatnya!" ucapku sambil bangkit.

"Nggak, Ndra—"

"SECEPATNYA! Kalau tidak, saya tidak peduli dengan semua ini. Mau kamu bunuh siapa saja, silahkan. Toh, jika dia mati dan reputasi saya hancur, saya masih bisa hidup. Atau bahkan menjadi gila seperti kamu! Saya tidak keberatan, Asyifa, yang penting saya tidak sudi menikah denganmu."

I AM YOUR BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang