Tumbuh Harapan, Muncul Keraguan

5.3K 260 3
                                    

 Sekian waktu kami jalani dengan bercucur keringat dan air mata. Tak peduli orang lain mencoba memisahkan, tetapi semesta kuharap menyatukan cinta kami.

Beberapa hari sudah aku di vila bersama dengan Tari. Sebenarnya agak canggung tinggal bersamanya meskipun tidur di kamar yang berbeda. Yang pasti, detak jantung ini tidak pernah bisa aku hentikan kala saling berpapasan dengannya. Meski begitu, aku harap selamanya akan seperti ini sampai akhirnya kami duduk di pelaminan nanti.

Momen-momen membahagiakan selalu aku jalani bersamanya. Tari mengajarkanku segala sesuatu tentang memasak, sementara di sore dan pagi hari, kadang aku mengajaknya untuk berolahraga.

Tari menatap diriku yang sedang sibuk berkutat dengan dumbell untuk menyembulkan otot-otot bicep-ku. Dengan satu tangan aku menaik-turunkan dumbell seberat 15 Kg sembari menghitung di dalam hati. Aku menolehkan pandangan ke arah Tari yang sedang bergeming menyaksikan diriku.

Aku naikkan sebelah alis sebagai tanda bertanya apa yang sedang ia lakukan.

"Otot kamu ... kok bisa besar gitu?" tanya Tari agak ragu.

"Sejak dulu aku suka gym. Sebenarnya bukan untuk membentuk otot-otot ini," ucapku sambil menaruh dumbell pada rak. "Aku berlatih angkat beban cuma karena hobi aja. Kalau aku nggak ada kegiatan, dengan gym aku mengisi waktu luang."

Aku menyapu keringat yang bersimbah di wajah dan dada bidangku.

"Bisa gede gitu, ya. Pantes aja Mba Asyifa ... tergila-gila sama kamu, Ndra." Tari terkikik pelan kemudian.

"Hmm? Memangnya ... kamu juga nggak ...." Aku terdiam, ragu untuk melanjutkan kalimat, kemudian menuju Abdominal Bench untuk melatih otot perut.

"Tadi mau bilang apa?" tanya Tari yang tampak penasaran.

"Nggak ada, lupain aja." Kunaiki alat dan berposisi tidur menggantungkan kaki pada bar.

"Mungkin ... termasuk aku juga."

Ucapan Tari membuatku terkesiap dan langsung menoleh ke arahnya. Aku mengaku senang dengan ucapannya barusan, tetapi entah bagaimana harus kuekspresikan.

------

Tidak ingin mengajak Tari untuk menemui Asyifa, aku pergi sendiri dengan alasan untuk membeli bahan-bahan makanan karena kebetulan bahan makanan kami sudah menipis.

Asyifa harus merasakan bagaimana hancurnya perasaanku ia buat dengan taktik liciknya. Ia harus merasakan luka lebih dari apa yang aku alami. Aku tahu rahasia dari keluarga mereka sekarang. Rasyid sudah bekerja dengan baik dan memberikan beberapa bukti kuat untuk menyeret perempuan itu dan keluarganya.

Aku terpaku di ruang tamu rumah megah keluarga Hartono sementara pembantunya memanggil Asyifa dan si tua bangka. Hingga tak lama kemudian, Asyifa turun dari lantai atas bersama dengan sang ayah.

"Kamu masih berani datang ke sini, Andra?" Hartono membuka suara, kemudian duduk pada sofa di hadapanku.

"Sayang, aku kangen banget sama kamu." Sementara itu Asyifa membelai kepalaku, tetapi segera kuhindari dan menepis tangannya. Ia pun duduk di sebelah sang ayah dengan wajah muram.

"Saya akan menyeret kalian ke penjara!"

Hartono tertawa renyah seketika mendengar pernyataanku.

"Menyeret kami ke penjara? Bagaimana caranya, Andra? Kamu tidak cukup mampu melakukan itu. Kamu tidak punya bukti apa pun untuk itu. Dan lagi-lagi uang akan menang, Andra."

"Bajingan! Lihat saja, karena saya tahu bisnis apa yang kalian jalankan selama ini. Menanam modal di perusahaan-perusahaan hanya kedok saja bagimu, Hartono! Katakan kalau saya salah."

I AM YOUR BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang