Tak ada apa pun di ruangan ini. Tak ada siapa pun. Ke mana perginya lelaki itu? Tari bersimpuh kala sendi-sendi lutut ia rasakan keropos, tak berdaya. Ah, harapanku dengan harapannya tentu saja berbeda. Tak akan asa ini bersatu. Itulah mengapa aku mengatakan ketika secercah asa tercipta, asa yang lain memporak-poranda. Doaku dengan doanya pasti berbeda. Kala ia menginginkan sang kekasih untuk bertahan hidup, lalu apakah aku menginginkan dia untuk sirna dari dunia ini? Tidak, aku hanya berharap ia mencintaiku, dan itu secara tidak langsung juga mengharapkan kekasihnya menghilang dari dunia selamanya.
"Maaf, Mas, Mba. Sekitar pukul 7.00 pagi, kami sudah menelepon ke nomor Mba Tari. Tapi sepertinya tidak ada tanggapan. Kami dengan sangat menyesal memberitahukan bahwa Saudara Arman telah meninggal dunia."
Tari bergeming seolah menjadi batu karang di tepi lautan. Benar-benar ekspresinya tidak mempercayai apa yang baru saja dikatakan oleh dokter berkacamata tersebut.
Aku sedih, bukan sedih karena pria itu telah menemui Tuhannya, tetapi sedih kala melihat wajah hancur Tari. Sedih melihatnya bersimbah air mata. Tak terelakkan. Tak terhentikan.
"Sekarang mayat Saudara Arman ada di ruang—"
Belum selesai dokter menjelaskan, Tari bangkit dan berlari sekuat tenaga. Aku mengejar perempuan itu. "Tari!" panggilku. Tak terkejar.
Ia tak kuasa. Dituruninya tangga, lalu menuju kamar mayat yang dipenuhi oleh bangkai manusia, tentu saja. Tari linglung, ia tak tahu yang manakah mayat pria tunangannya. Semua tampak sama, ditutupi dengan kain di seluruh tubuh.
Tari melangkah gontai ke ruangan, sementara aku dan dokter berkacamata hanya bisa menatapnya. Tari mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan, mencari-cari nama tunangannya yang sudah tak bernyawa. Dokter melangkah masuk dan menunjukkan jasad pria bernama Arman tersebut yang berada di tengah-tengah.
"Silahkan, Mba." Dokter membuka kain yang menelungkup tubuh mayat hanya pada bagian wajah saja.
Lagi-lagi Tari tersayat sembilu yang merajalela. Ia membekap kencang mulutnya. Tangisnya kembali pecah, tak terhentikan. Ya, ini adalah cobaan terberat dalam hidup manusia. Merasakan sebuah kehilangan yang tidak dapat dikembalikan. Hilang dan sirna tanpa bisa ditemui di dunia ini lagi. Hanya kenanganlah tempat ia hidup. Hanya di hati manusia yang mengingatnyalah ia akan tetap hidup. Abadi hingga dunia hancur berkeping-keping.
Sebenarnya, aku tidak ingin menjatuhkan air mata, tetapi melihat perempuan yang aku cintai dirundung kehancuran, maka air mata ini berderai hebat. Aku menutupnya dengan tangan kanan.
Di sana, Tari memeluk jasad tak bernyawa itu sambil bersimbah air mata. Aku tak tahan melihatnya sehingga melangkah dan menjauhkannya. Namun, Tari berontak.
"Sudah, Tari! Arman sudah tenang di sisi Tuhan."
"Nggak! Arman nggak boleh mati! Dia akan menikah denganku!"
Beberapa kali Tari berhasil lepas dari cengkeramanku, tetapi kembali kuraih tubuhnya, lalu memaksa ia keluar dari ruangan tersebut.
"Arman! Nggak, Andra! Lepasin aku! Lepasin aku! Arman! Kamu nggak boleh mati. Kita akan menikah, Arman!"
Suasana itu berlangsung hingga beberapa menit. Tari berhasil kutarik keluar. Kini, ia bersimpuh lemah di luar ruangan yang sudah ditutup sang dokter.
"Sekarang, kita pikirkan saja tentang pemakamannya. Kamu tidak boleh seperti itu. Dia akan sangat sedih jika kamu tidak ikhlas dengan kematiannya," ucapku seraya menjongkok dan berusaha mendapat tatapan perempuan tersebut.
Tari tidak merespons. Ia sendu, tertunduk bisu. Matanya hampa sementara air mata terus menghunjam batinnya.
"Ayo, kita siapkan pemakaman yang layak untuk Arman. Hanya itulah hadiah terakhir yang bisa kamu berikan untuk dia. Hanya itu yang akan membuat dia bahagia bersama doa kamu nanti."
KAMU SEDANG MEMBACA
I AM YOUR BOSS
Romance[Sudah pindah ke KaryaKarsa. Klik tautan di profil saya untuk membaca bab selanjutnya] Andra yang pernah ditinggal kekasih ketika kemiskinan materi melanda hidupnya, akhirnya berjuang memperkaya diri. Enam tahun perjuangan yang melelahkan membuat ia...