II. MERAWAT HARMONI: Pergolakan Asmara

8.4K 72 9
                                    

"Gimana apartemennya, Sayang? Bagus? Nyaman? Keren? Menurut kamu?"

"Waaaah. Ini, sih, lebih dari sekedar bagus, Ndra! Aku sukaa banget! Fasilitasnya lengkap, ya. Ada TV, kulkas, dapur, dan banyak lagi!" seru Tari sembari duduk dan mencoba sofa berwarna putih empuk di apartemen yang aku sewa.

"Syukur, deh, kalau suka. Sekalian juga kamarnya dicobain," ucapku yang kemudian membuka pintu kamar apartemen.

"Ish! Nakal kamu, ya, mau main coba-coba aja." Tari mencebikkan bibirnya, lalu melangkah masuk ke kamar. Aku mengikuti di belakangnya.

"Loh. Kan, nggak bermaksud yang itu, Sayang. Maksud aku itu, cobain tempat tidurnya, lihat lemarinya, dan lain-lain."

"Alah, ngeles, deh. Dari kemarin perasaan bahas yang itu terus. Aku, kan, jadi kepikiran ke sana juga."

Tari membanting pantat ke atas ranjang, lalu merasakan keempukan serta kenyamanan spring bed berukuran king size. Ia kemudian merebahkan tubuhnya, berposisi malas-malasan, mengambil guling hingga memeluknya.

"Kok malah gulingnya yang dipeluk?"

"Terus peluk apa?"

"Bukan peluk apa, tapi peluk siapa."

"Ya, udah. Peluk siapa?"

"Aku, kan, suami kamu, Sayang. Ya ... peluk akulah," ucapku yang kemudian mendekat ke arah ranjang, duduk di sebelah Tari.

"Nggak, ah. Aku capek, Sayang. Besok aja."

Aku tak membalas, lantas memiringkan mulutku sebagai tanda kekecewaan. Aku tinggalkan Tari yang beberapa menit kemudian ternyata telah tertidur, kuempas pantat pada sofa di ruang tamu dan menyalakan televisi.

Kami baru saja sampai di Amerika pagi tadi, lalu menuju apartemen ini yang telah beberapa hari lalu di-booking oleh Rasyid untuk kami. Sebuah apartemen—California Crown Apartment—yang terletak di Los Angeles. Dengan tipe kamar Apartment Studio yang memiliki fasilitas sangat lengkap dan hampir sama seperti fasilitas-fasilitas di rumahku.

Aku duduk lemas di sofa, tetapi dalam beberapa menit tetap mengganti posisi karena merasa sangat bosan. Sebab benar-benar tidak tahan dan tidak tahu harus melakukan apa, aku pun masuk ke kamar.

Tari masih tertidur pulas, tetapi aku tidur saja di sebelahnya sambil berposisi memeluk tubuh elok sang istri. Tak berselang lama, Tari menggeliat, ia menyadari ada sesuatu yang membelenggu tubuhnya sehingga memutar kepalanya ke belakang. Dan yang ia temui ialah aku sembari tersenyum lebar penuh makna.

"Sayang. Kamu kapan di sini?" Tari mengusap-usap matanya, lalu membalik tubuhnya. Kini, kami berposisi saling berhadapan. "Kamu ... mau itu?" tanyanya berbisik tajam, bertatap begitu nakal dan seketika mengundang hasrat yang berkecamuk.

Aku menelan saliva.

"Mau?" tanyanya dengan nada seksi.

Baru kali ini aku merasa begitu menginginkan sesuatu. Ya, baru kali ini, setelah menikah dengan Tari. Aku biasanya tidak pernah menginginkan sesuatu dengan sangat. Apalagi menginginkan hal yang berkaitan dengan hubungan suami istri.

"Nakal." Tari tersenyum menggoda.

Tanpa meminta izin, aku kembali melingkarkan kedua lengan di tubuh sang istri. Memeluknya, menatapnya dengan lamat, masuk ke dalam bola matanya yang begitu bulat. Kusaksikan bagaimana tipis dan menggoda bibir perempuan tersebut. Kuperhatikan ia kini menggigit bagian bawah bibirnya. Sangat menggoda, membuatku merasakan panas di sekujur tubuh. Ya, tak tahan. Namun, aku begitu tahu bahwa Tari hari ini sangat lelah, jadi kuurungkan niatku dan bangkit segera.

I AM YOUR BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang