II. MERAWAT HARMONI: Menjadi Lelaki Cengeng

530 24 0
                                    

Seminggu sudah berlalu semenjak pertama kali aku membuka mata dari ketidaksadaran. Kini, aku tak lagi berada di Amerika, melainkan telah pulang ke Indonesia. Banyak yang telah berubah selama berada di Amerika, termasuk juga keadaanku yang kini hanya bisa terduduk di kursi roda, tak dapat melangkahkan kaki dan menggerakkan badanku. Aku lumpuh sebagaimana Tari menyampaikan penjelasan dokter di Amerika.

Oleh karenanya, aku dibawa pulang oleh Tari atas bantuan Rasyid juga. Setiap hari, aku check up ke dokter untuk mengetahui perkembangan beberapa syaraf motorik serta berlatih berjalan. Namun, semua itu sangat sulit kurasakan.

Aku sepenuhnya menjadi lelaki tak berguna bagi istriku sendiri yang bahkan kini tengah mengandung anak kami. Aku benar-benar tidak ada gunanya bagi dia, selalu merepotkannya karena mengurus diriku yang bahkan berjalan saja tidak becus.

"Sayang, kamu harus makan dulu. Sini, aku suapin," ucap Tari yang beberapa waktu lalu ke dapur menyiapkan makanan untukku.

Sementara itu, aku begitu malas untuk melanjutkan hidup ini karena bahkan telah benar-benar bersalah pada sang istri. Aku telah tidak berbakti kepadanya. Hah, benar sekali. Bukan seorang istri saja yang seharusnya berbakti kepada suami, tetapi suami juga. Akan tetapi, semua sudah terlambat bahkan meski aku menyesali setiap dendam yang menghancurkan diriku.

"Sayang, makan, dong."

Aku menolak makanan yang Tari suapkan untukku.

"Kamu pergi aja, Tari. Tinggalin aku. Tinggalin suamimu yang nggak berguna ini. Aku sudah mengkhianati janji kita. Aku sudah terlalu sering ingkar janji sama kamu," tandasku dengan menahan sedih.

"Kamu ngomong apa, sih, Ndra? Aku nggak mau ninggalin kamu dalam keadaan seperti ini. Aku sangat mencintai kamu."

"Apa sekarang masih seperti itu? Dengan keadaanku yang lemah nggak berdaya seperti ini, apakah kamu masih mencintai aku? Aku sama sekali nggak berguna buat kamu. Dan sekarang ... kamu sedang mengandung anak kita."

Aku tak ingin menatap wajah Tari. Sungguh-sungguh tidak ingin, lantas memutar arah kursi roda ke samping kanan. Hanya tangan yang aku punya sekarang. Aku benar-benar sudah mati.

"Jangan ngomong yang macam-macam. Ayo, makan dulu." Tari kembali menyuapi nasi berlauk sayur-sayuran, seperti Brokoli, Wortel, dan lainnya.

"Aku nggak mau makan."

"Kenapa nggak mau?" Tari mengembuskan napas gusar. Jelas sekali helaan napas yang keluar dari mulutnya begitu kasar.

"Makanan nggak akan menjamin aku bisa sembuh dari lumpuh ini. Aku sudah mati, Tari. Kamu kembali aja ke rumah orang tua kamu. Kamu bisa—"

"Andra!" Tari memotong, memekik dan menghentikan kalimatku.

Aku cukup terkejut karena suara teriakannya. Kulihat Tari menatap tajam. Ia betul-betul murka.

"Aku sama sekali nggak berniat mau ninggalin suami aku. Kamu emang nggak berdaya sekarang, Ndra. Tapi, aku ingat betul saat kamu sehat. Kamu yang selalu ada buat aku. Kamu yang selalu menolong aku." Akhirnya tumpah air mata yang beberapa waktu tertahan. Tari bersimbah air mata.

Aku memalingkan pandangan, tak sanggup diri ini melihat wajah hancurnya itu.

"Tatap aku, Andra! Tatap aku! Aku ini istri kamu!"

"Maaf, aku nggak sanggup lihat istriku sedih."

"Itu artinya kamu udah nggak cinta sama aku?!"

"Apa hubungannya? Aku sangat cinta. Justru itu aku meminta kamu untuk mencari kebahagiaan kamu sendiri. Aku nggak bisa ngelakuin apa pun untuk kamu. Aku hanya pembawa sial buat—"

I AM YOUR BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang