Untuk menemui kedua orang tua Tari, tentu saja aku harus menyiapkan diri, berpakaian yang rapi, serta merangkai kalimat untuk melamar perempuan tersebut. Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dari tidur, kemudian membasuh tubuh dan berpakaian yang elegan. Begitu pun dengan Tari, malah ia lebih dulu bangun dan tampak sudah cantik.
Selesai mengenakan pakaian, aku segera keluar dari kamar dan menuju ruang makan, menghampiri calon istriku yang tengah menyiapkan sarapan.
Perempuan tersebut menyadari keberadaanku saat menarik kursi dan duduk.
"Roti bakar. Soalnya nggak ada bahan makanan di rumah kamu," ucap Tari sambil memperhatikan pemanggang roti.
"Iya, aku suka roti bakar."
Tari menghadapku, memperhatikan diriku yang sudah rapi dengan jas hitam. Ah, setiap hari aku memang selalu mengenakan jas hitam. Jadi, mungkin tidak ada bedanya penampilanku saat ini dengan hari-hari lainnya.
"Kerah kemeja kamu keluar, belum rapi." Tari melangkah dan merapikan pakaianku. Memang, aku belum sempat melihat cermin saat mengenakan pakaian beberapa waktu lalu. "Nah, gini, kan, bagus. Jadi rapi."
Aku merasa seperti sudah menjadi suami perempuan tersebut. Ia begitu perhatian dan sangat pengertian. Aku berharap ketika nanti menjadi pasangan yang sah, Tari tetaplah Tari dan tidak berubah menjadi orang lain.
Aku pernah berpikir bahwa membangun rumah tangga yang harmonis itu sangat sulit. Memang benar, tetapi aku akan mencoba menjadi orang yang sangat bisa diandalkan oleh perempuan tersebut. Aku akan menjadi satu-satunya suami yang ia sayangi dengan sepenuh hati.
Setelah selesai sarapan, kami menuju kampung halaman Tari, tempat orang tuanya tinggal. Sebuah rumah di pedesaan, terkesan begitu sederhana dengan halaman yang tidak begitu luas, tetapi sangat bagus karena Tari menghiasnya dengan meletakkan pot-pot bunga yang jika dilihat membuat mata benar-benar puas. Ada bunga kertas, bunga mawar, serta bunga-bunga lain yang membuat udara halaman rumah ini sangat kondusif.
Aku menambatkan mobil di depan rumah tersebut. Tari keluar dari mobil dan berjalan di depanku. "Ayo, inilah rumah aku, Ndra," ucapnya sambil membuka gerbang berwarna putih yang tidak digembok.
"Assalamualaikum." Tari berseru dan mengetuk pintu.
Aku masih berada di belakang Tari dengan beberapa jarak. Karena melihat teras yang sangat bersih, mungkin sehabis disapu, maka kulepaskan sepatu pantofel hitam cemerlangku dan hanya menyisakan kaos kaki cokelat saja.
"Biar aku aja," kataku kepada Tari, menghentikan tangan Tari yang mengetuk pintu. "Kan aku yang akan melamar kamu."
Kugurat senyum kemudian. Perlahan Tari beringsut mundur, berada di belakangku.
"Assalamualaikum," ucapku nyaring sembari mengetuk pintu bercat putih tersebut.
"Waalaikumsalam. Sebentar, sebentar," jawab seseorang dari dalam rumah, mungkin ibunya Tari.
Dadaku mulai bergetar, waktunya sudah dekat aku akan berbicara dengan orang tua perempuan tersebut. Akankah kehadiranku diterima oleh mereka? Bagaimana jika aku ditolak? Pastilah hidupku akan sangat hancur bila ditolak kedua orang tua Tari.
"Kamu kenapa?" tanya Tari. Mungkin ia menyadari bahwa raut wajahku sudah mulai tampak gugup. Jari-jemari tangan kurasakan berkeringat.
"Nggak apa-apa," jawabku pelan sambil berusaha mengatur napas agar kegugupan tidak menyerang kembali.
"Kamu gugup, kan?" Tari sesekali tercengir melihat ekspresi kegugupanku.
"Nggak. Siapa juga yang gugup," sangkalku dan coba bersikap biasa-biasa saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
I AM YOUR BOSS
Romance[Sudah pindah ke KaryaKarsa. Klik tautan di profil saya untuk membaca bab selanjutnya] Andra yang pernah ditinggal kekasih ketika kemiskinan materi melanda hidupnya, akhirnya berjuang memperkaya diri. Enam tahun perjuangan yang melelahkan membuat ia...