Semerbak Wangi

6.1K 274 1
                                    

 Aku tak mampu menahan tubuh yang terasa semakin lemas, sendi-sendi lututku rasanya keropos. Tiada daya dan upaya, akhirnya tubuhku roboh. Namun, perempuan tersebut menangkapku dengan lugas. Kurasakan kepalaku berbaring di bahunya. Ah, dia wangi sekali. Siapa dia? Aku bahkan belum melihat wajahnya. Tepatnya aku tidak mampu. Entah mengapa, aku merasakan sepasang tangannya mendekapku dengan erat.

"Kamu kenapa, Andra?"

Oh, ternyata Tari. Benar sekali. Aku mengenal suaranya, tetapi tak mampu mataku melihat ekspresi di wajahnya. Tak mampu mengangkat kepalaku. Aku tenggelam dalam semerbak wangi tubuhnya. Sayup-sayup kulihat kulitnya yang begitu putih dan lembut di kedua mata.

"Aku bantu kamu."

Ia balikkan tubuhku, kemudian membantuku menuju sofa di ruang tengah. Ia merebahkan tubuhku begitu pelan. Mataku mengembun, semakin pudar penglihatanku. Air mata sepertinya akan meghunjam di kedalaman jiwaku, lagi.

"Kamu kenapa, Andra?" tanyanya lagi, sedangkan aku tidak mampu menjawab pertanyaannya.

Ah, sial! Aku mengantuk sekali. Mataku akhirnya terpejam hingga—entah—berapa lama.

Ketika kubuka mata perlahan, kuedarkan bola mata ke beberapa bagian di ruangan. Sepi, tak ada siapa pun. Lalu, mana perempuan yang telah membantuku itu? Mana dia?

Aku mencoba bangkit dengan rasa sakit di kepala. Pening. Lubang-lubang hidungku mencium aroma lezat sebuah masakan. Dari mana asalnya? Aroma sup yang begitu lezat, menggelitik di pernapasan. Apakah dari dapur?

Aku ingin memeriksa siapa yang ada di dapur, tetapi tubuhku tidak mampu beranjak. Aku tahu sendi-sendi lutuku masih terasa sangat lemas. Akan tetapi, beberapa saat kemudian, aroma itu semakin jelas tercium.

"Andra, kamu sudah sadar?"

Suara itu, ternyata ia masih berada di rumah ini. Aku sontak menolehkan pandangan ke arah pintu dapur. Ah, benar sekali. Tari, ia melangkah sembari membawa sebuah wadah yang entah apa isinya. Senyum ia pahat di wajah, tetapi ada juga sendu yang kulihat di matanya.

Ia duduk perlahan di sebelahku, meletakkan mangkuk sup di atas meja.

Sekali lagi, kulihat alisnya saling bertautan.

"Kenapa kamu bisa ada di rumah saya?" tanyaku.

Tari menghela napas dalam. "Aku ... khawatir sama kamu. Beberapa minggu kamu nggak pernah ke kantor. Aku memutuskan untuk datang, memeriksa keadaanmu, bertanya pada Damar alamat rumahmu."

Kenapa? Kenapa penuturannya membuatku haru seketika? Bercampur senang. Ya, ada rasa senang di hatiku. Sejuk sekali. Tubuhku yang sebelumnya terasa begitu panas, kini bagai diembus angin dan melegakan.

"Kamu ... khawatir dengan saya?" tanyaku memastikan.

"Iya, Andra. Kamu kenapa? Kenapa kamu nggak pernah datang lagi ke kantor? Setiap hari, aku selalu melihat ruanganmu sepi. Esoknya, aku berharap ruangan itu ada kamu. Tapi ... tak kunjung juga kamu ada di sana."

"Terima kasih." Air mata seketika pecah pada sunyinya penjuru ruangan. Aku tertunduk dan berniat menghabiskan bulir-bulir bening di netra. Tak dapat kutepiskan rasa haru yang semakin menghunjam batinku.

"Kamu ... kenapa nangis? Aku nggak ngerti, Ndra." Begitulah ucapnya dengan bingung.

"Kamu nggak perlu ... mengerti, Tari. Saya hanya—saya hanya senang ada seseorang yang mengkhawatirkan saya."

Aku mengangkat wajah, memandang wajah Tari yang kemudian menggurat senyum lebar.

"Supnya, makan dulu. Nanti keburu dingin. Aku buatkan ini untuk kamu, kuharap bisa meredakan demam di tubuhmu."

I AM YOUR BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang