II. MERAWAT HARMONI: Tanpa Hadirnya

550 28 0
                                    

"Tari ...."

Lirih suara ini saking terhenyaknya tak mampu menyuara tinggi. Ada beribu pertanyaan yang muncul di kepalaku ketika yang membuka pintu ruangan ini ialah Tari—istriku sendiri. Bagaimana bisa? Dari mana sang istri mengetahui keberadaanku?

"K-kamu ngapain di sini, Sayang?" tanyaku sambil sesekali menatap sosoknya di hadapan.

Tak merespons, Tari malah melangkah pergi dengan langkah tergesa. Aku bingung, tetapi yang penting aku harus mengejar istriku.

"Tari! Sayang! Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi sebenarnya?" tanyaku sembari mengejar langkah kaki perempuan tersebut.

Aku berusaha meraih tangannya untuk menghentikan langkah Tari yang mengayun cepat. Kutambah kecepatan kakiku, lalu meraih tangannya dengan lugas. Tari berusaha menolak, membanting tanganku hingga terlepas. Meski begitu, aku terus mencoba hingga bisa membuat langkahnya berhenti.

Tepat di depan lobi. Ternyata, aku berada di sebuah hotel, entah hotel apa.

"Ini ada apa sebenarnya? Tolong jelasin ke aku, Tari."

"Aku nggak nyangka ...." Tari sesengguhkan seketika air matanya tumpah membasahi relungnya. "Aku nggak nyangka, Ndra. Aku nggak nyangka kamu tega mengkhianati aku. Terus mengkhianati aku."

Pilu, nelangsa sudah. Lagi dan lagi. Hal sama yang aku rasakan di hari kemarin. Entah apa yang terjadi, tentu saja aku tidak tahu karena berada dalam ketidaksadaran waktu itu.

"M-maksud kamu ... m-maksud kamu apa, sih, Sayang? Aku ... aku nggak ngerti apa yang kamu—"

Tari mengacungkan tangannya, memperlihatkan beberapa carik kertas, dan di sana adalah fotoku bersama dengan beberapa perempuan yang aku temui di bar waktu itu. Keterkejutan tiada tara yang aku alami, tak tahu lagi bagaimana untuk mendeskripsikannya. Yang jelas, ribuan tanya bertambah hingga menjadi jutaan. Yang jelas, kepala ini dipenuhi oleh tanda tanya yang tak mampu kutemukan jawabannya.

Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat foto yang tangan Tari pegang. Ingin kusangkal apa yang ia yakini saat ini, tetapi sungguh akan terdengar seperti sebuah pembenaran. Ya, karena jelas-jelas di dalam foto itu aku salah. Namun, Tari telah salah mengartikan semuanya. Bahkan di dalam foto itu aku tengah tertidur meski tanpa busana.

Biadab!

Kenapa? Kenapa tiba-tiba seperti ada yang ingin menghancurkan keharmonisan rumah tanggaku dengan Tari? Kenapa semakin banyak saja orang yang ingin merenggut bahagiaku, bahkan setelah kami menikah?

"Makan perempuan-perempuan genitmu itu!" Dilemparkannya foto-foto itu padaku, lalu sang istri berlalu pergi.

Ya, ia membawa tangis yang pilu. Nelangsa sedang menemani dirinya. Kekecewaan melukai kalbu.

Kupijat pelipis, menarik napas dalam, lalu berteriak sekencang-kencangnya. Aku tidak peduli ini di negara orang. Aku tidak peduli, sebab semua sudah tidak bisa aku tahan lagi. Tidak bisa aku bendung lagi. Tanya-tanya di dalam benak ini begitu mengganggu, begitu menyesakkan menderu desau merusak segala rasa yang telah terpatri dengan baik.

Karena tidak tahu berada di mana, aku kembali ke apartemen dengan taksi sekaligus untuk mengejar Tari yang mungkin saja bisa melakukan hal-hal nekat. Ya, isi pikiran ini hanya Tari. Dia bisa saja pulang sendirian ke Indonesia, meninggalkanku di sini dengan sepi. Dia bisa saja melakukan apa pun itu.

Aku tahu ketika seorang perempuan kecewa, mereka bahkan tak segan-segan melakukan hal-hal yang membahayakan diri mereka. Oleh karenanya, setelah sampai di apartemen, aku segera melangkah untuk masuk. Namun, terkunci.

"Tari!" pekikku sambil menggedor-gedor pintu apartemen.

Aku sangat tahu Tari ada di dalam.

Kurogoh kantong celana, mengeluarkan ponsel dan mulai menelepon Tari. Sayang sekali, nomornya tidak aktif.

I AM YOUR BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang