Kebaikan yang Menjelma Keburukan

5.5K 263 1
                                    

Jika melakukan kilas balik, pertemuanku dengan Tari seperti sebuah rencana matang yang ditakdirkan oleh Tuhan. Aku tidak pernah menyangka wanita tersebut akan sangat dekat denganku mengetahui dulu aku begitu sering membentak dan memperlakukannya dengan kasar. Meski begitu, tak sedikit pun ia menyimpan dendam padaku. Berbeda sekali denganku. Ketika seseorang melakukan hal buruk, aku pasti akan mengingatnya, kemudian mendendam hingga menjadi sakit sendiri.

Kami masih dalam perjalanan menuju vila milikku. Cukup lama, sekitar tiga jam perjalanan. Sedari tadi Tari hanya diam dan sesekali matanya menatap keramaian di jalanan. Menyaksikan beberapa kendaraan lain saling salip menyalip.

"Tari. Gimana ceritanya kamu bisa diculik sama anak buah Asyifa?" tanyaku.

Aku cukup penasaran dengan hal ini. Sebab, setahuku Tari sudah pergi dari komplek perumahaannya. Lalu, dari mana mereka bisa tahu keberadaan Tari? Mereka memang tidak bisa diremehkan.

"Aku nggak tahu dari mana mereka tahu keberadaan aku, Ndra. Yang jelas, waktu itu aku sedang ada di pasar, terus saat pulang aku melewati jalanan sepi. Ada sekitar empat orang mencegahku lewat. Aku mulai kebingungan saat itu. Aku pikir mereka cuma preman pasar biasa yang sering memalak pembeli di pasar itu. Tapi, mereka tiba-tiba saja menangkap aku dan membungkamku, terus membius aku.

Aku nggak sadar, Ndra. Setelah sadar, tahu-tahu aku sudah ada di sebuah tempat yang gelap. Aku diikat dan mulutku dibungkam," jelas Tari sambil menunduk sendu.

"Kurang ajar mereka! Akan kubalas mereka semua," ucapku sembari mengernyitkan gigi, kesal.

"Ndra. Kenapa kamu mau bantuin aku?"

Pertanyaan Tari seketika membuatku terkesiap. Ya, kenapa aku mau membantu dia? Alasannya apa? Apakah karena dia adalah Tari? Jika orang lain, apakah aku akan mau membantunya juga?

Aku tersenyum dan menjawab, "Aku pernah bilang sama kamu. Aku mau jadi orang bermanfaat bagi orang lain, termasuk kamu, Tari."

"Apa benar?" Tari menghela napas panjang. "Oh, ya. Soal waktu itu ... aku ... minta maaf, ya. Aku nggak bermaksud untuk membentak ataupun marah sama kamu. Aku cuma depresi karena-"

"Aku mengerti. Semua sudah aku pikirkan. Akulah yang salah. Memang lucu. Aku seperti ingin mengambil kesempatan, memanfaatkan keadaan kamu. Sayangnya, kamu emang perempuan yang berbeda dari yang lain, Tari. Kamu nggak seperti Asyifa, juga nggak seperti Nadia."

Ketika kutolehkan wajahku menghadapnya, ia memahat senyum yang hangat itu lagi. Betapa sejuk bagai embun yang menyegarkan.

Aku jadi tidak ingin mengucapkan hal-hal yang membuatnya bisa marah denganku. Mungkin, untuk sementara waktu, aku simpan pernyataan cinta ini. Cukuplah Tuhan dan aku yang tahu bahwa aku mencintainya. Entah sampai kapan. Aku hanya ingin memberikan Tari waktu. Ia belum bisa melupakan cintanya kepada almarhum sang kekasih. Kasihan sekali dirinya yang memikul beban sangat besar di pundak.

"Sebentar lagi kita sampai."

"Wah, kereeeeennnn," gumam Tari begitu terpukau sambil menyaksikan pemandangan di kiri dan kanan. Laut membentang luas, perbukitan yang berjejer rapi. Biru yang sangat memukau ditambah hari yang begitu cerah.

Tari sibuk menoleh kiri dan kanan.

"Gimana? Bagus?" tanyaku sambil mengukir sebuah senyum untuknya.

"Indah banget, Ndra." Kedua mata perempuan tersebut berbinar.

"Vila yang kita tuju ada di sana. Bangunan yang berdiri sendiri." Aku menunjuk sebuah bangunan dari jalanan menanjak, tampak sangat kecil, yang merupakan bangunan vila milikku.

"Yang itu, Ndra? Tempatnya bagus banget."

Untuk kesekian kalinya, aku benar-benar merasa sejuk di hati. Merasa segala sesuatu benar-benar menjadi indah karena dirinya. Sebab hadirnyalah yang membuat semuanya indah, membuat semua yang berwarna, lalu mewarni bagai pelangi yang membias sehabis hujan. Tari, dialah pelangi itu.

I AM YOUR BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang