Honestly

7K 282 4
                                    

 "Maaf, maksud Bapak apa, ya? Saya tidak mengerti."

"Ssst. Tari, mulai sekarang jangan terlalu formal dengan saya. Kamu boleh pakai bahasa sehari-hari saat berada di luar kantor," ucapku yang kemudian tersenyum tipis ke arah Tari.

Perempuan tersebut tidak menanggapi. Ia menundukkan wajahnya sejenak.

"Bapak belum menjawab—"

"Ssst! Saya sudah bilang kalau kamu jangan terlalu formal dengan saya!"

Tari menghela napas dalam. "Baik. Kamu ... belum jawab pertanyaanku, A-Andra."

Terkesan begitu canggung saat Tari mulai berkomunikasi dengan bahasa tidak formal denganku. Meski memintanya begitu, aku masih belum bisa menghilangkan kepribadianku yang saat ini. Aku sudah biasa menggunakan bahasa formal, baik di luar kantor, maupun di dalam kantor. Akan tetapi, aku meminta Tari berlaku tidak formal hanya karena ingin dia merasa lebih dekat denganku. Ingin meleburkan hubungan antara atasan dengan bawahan di antara kami. Itu saja, tak ada alasan lainnya.

"Oke. Saya cuma bertanya seandainya saja."

"Tidak bisa, Pak—"

Aku segera menatap Tari dengan kerutan di dahi karena lagi-lagi ia berlaku formal. Aku sudah mengatakan dua kali bahwa ia semestinya biasa-biasa saja jika di luar kantor.

"Maaf, aku udah biasa banget ngomong formal sama kamu. Jadi, kalau kebiasaan itu dihilangin, akan terkesan aneh bagi aku."

Aku mengembuskan napas panjang, kemudian menghentikan mobil karena berada di persimpangan jalan.

"Tidak apa-apa. Pelan-pelan saja. Saya hanya mau kamu menganggap saya bukan atasan lagi jika berada di luar kantor."

"Oke. Jadi, jawaban dari pertanyaan kamu. Aku nggak bisa, Andra. Kamu tahu sendiri kalau aku sudah punya tunangan. Dan sekarang dia sedang sakit. Lagian, kamu membuat peraturan di kantor kalau atasan dan bawahan atau sesama karyawan itu nggak boleh saling jatuh cinta," jelas Tari mengutarakan jawabannya.

Aku menggeleng beberapa kali. Tidak kupungkiri begitu sakit jawaban yang aku dapatkan dari dirinya. Aku sangat ingin tertawa, menangi, dan berteriak di saat yang bersamaan. Memang sangat konyol. Ini semestinya tidak terjadi, kan?

"Saya mengatakan antara karyawan tidak boleh saling jatuh cinta, dan saya tidak pernah mengatakan bahwa saya tidak boleh jatuh cinta dengan karyawan saya sendiri." Kembali kutancap gas karena rambu-rambu sudah menunjukkan lampu hijau.

"Aku tahu. Itu aturan kamu. Kamu yang punya perusahaan, dan kamu bebas ngelakuin apa pun di perusahaan kamu. Tapi, maaf. Jawaban dari pertanyaan kamu, aku tetap nggak bisa. Aku sangat cinta dengan pacarku, meskipun sudah berbulan-bulan dia koma di rumah sakit itu."

Maka, jelas sudah aku tidak punya kesempatan untuk mendapatkan Tari, meskipun pada akhirnya memang benar bahwa aku telah jatuh cinta akan pesonanya. Haha, seketika semua ini membuatku ingin tertawa saja. Ketika hatiku perlahan sudah mulai terbuka kembali, kenapa Tuhan tidak bisa menyatukan kami? Apakah ini semacam hukuman untukku sehingga harus mengalami hal-hal pahit dalam kisah percintaanku?

Aku sadar di usia yang ke-28 tahun ini, aku sudah harus menikah. Aku punya kekayaan, tetapi semua itu tidak ada artinya jika aku tidak punya tambatan hati. Benar-benar kosong! Ibarat berada di ruang hampa dengan memiliki segala sesuatu, kecuali cinta. Padahal, berbagai wajah perempuan sudah aku temui, tetapi tetap saja tidak bisa menggerakkan hatiku ini. Bahkan bergeser satu senti pun tidak.

"Baik. Terima kasih atas jawaban kamu. Saya tidak bermaksud jatuh cinta denganmu. Saya hanya bertanya saja. Mungkin semua perempuan juga akan berpendapat kalau saya ini bukan lelaki baik-baik. Hanya harta yang saya punya. Saya manusia yang egois dan selalu memaksakan kehendak pada orang lain, seperti yang kamu katakan, Tari."

I AM YOUR BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang