Rutinitas yang paling disukai oleh wanita berusia empat puluh tahun yang sudah berhasil menurunkan gen mata coklat pada ketiga anaknya adalah kala pagi. Karena di waktu itu dirinya bisa bereksperimen masakan-masakan terbaru untuk dijadikan bekal anak-anaknya.
Tenang saja, untuk masalah rasa tak usah diragukan lagi. Bu Ara a.k.a Bunda adalah si koki handal yang tidak pernah membuat kecewa mereka yang menikmati hidangannya. Selalu ada jempol terangkat ke udara sebagai apresiasi tiada dua.
Begitulah, sudah menjadi kebiasaan setiap hari anak-anaknya dibekali masakan rumah. Katanya sih biar tidak terlalu banyak jajan di luar.
Bukan, guys.
Bukan karena uang jajan mereka sedikit, hanya saja Bu Ara ingin memastikan makanan yang dimakan anak-anaknya terjamin kebersihannya meskipun sebenarnya makanan di sekolah mereka juga sudah pasti terjamin, sih.
Pokoknya begitu, membekali mereka masakan rumah mampu memberikan rasa kebahagiaan tersendiri bagi wanita itu.
"Kak, mau bawa bekal enggak?" wanita itu tampak sedang memasukan beberapa lauk pada dua kotak bekal yang sebagian isinya sudah ditata sedemikian rupa ke dalam dua tas kecil khusus tempat bekal makan.
Dua bekal itu dibuat untuk Raina dan Shafira. Jangan tanyakan Cakra, dia suka menolak padahal suka sekali makan.
"Enggak ah Bunda. Masa aku udah ganteng sama keren gini bawa bekal kan menurunkan tingkat kegantengan seorang Cakra." jawab remaja laki-laki yang sedang memperbaiki dasinya.
Ibunya mendengus geli. "Ya emang kenapa? Kan kalo laper mah gak liat ganteng atau enggaknya ari kamu."
"Ya-iya sih Bun, cuma udah gak usah ah nanti beli di kantin aja." ujar laki-laki itu seraya mencomot roti selai coklat lalu duduk di samping ibunya.
Tak!
"Di kantin-kantin! Orang tiap istirahat lo suka heboh nyamperin gue buat minta makan!"
"Teteh eh, gak boleh gitu sama kepala orang gak sopan!" peringat ibunya dengan kening sedikit mengkerut.
Gadis itu tiba-tiba datang langsung menjitak belakang kepala Cakra. Alhasil ada Cakra yang manyun seraya mengusap belakang kepalanya.
Meskipun sudah diperingati seperti itu, Raina hanya balas cengengesan. Bukan, bukan karena dia anak pembangkang tapi ya memang begitu kebiasaannya dengan Cakra. Tiada hari tanpa baku hantam.
"Hehe, tanda sayang Bundaaa. Yakan Dek, yakan?" cengir Raina sambil menguyel-uyel pipi Cakra sampai terlihat monyong menyerupai mulut bebek.
Kening Cakra mengkerut, tampangnya saat ini sudah seperti karakter Angry Bird.
"Lwephashin Theh," ujar Cakra susah payah karena mulutnya penuh dengan roti juga diapit oleh kedua tangan Raina. Terlihat ibunya hanya bisa geleng-geleng melihat kelakukan mereka berdua.
Bagi beberapa orang yang tidak tahu, Raina dan Cakra akan dikira saudara kembar karena jika dilihat, keduanya memiliki netra yang sama-sama berwarna coklat juga bulu mata yang lentik.
Bisa dibilang kemiripan wajah mereka hampir 90% dengan Cakra yang malah terlihat seperti kakaknya. Ya itu, karena proporsi tubuh Cakra yang lumayan bongsor sedangkan Raina hanya sebatas dagunya.
"Awas lo ya kalo nanti nyerbu bekal gue pas istarahat!" Raina melepaskan tangannya dari pipi Cakra setelah sebelumnya sedikit mendorong wajah itu.
"Ih, ya gak bisa gitu dong Teh. Terus gue makan gimana?" Cakra mengeluh.
"Iya, makanya kata Bunda juga kamu bawa bekal, biar Bunda siapin sekarang. Mau?" tawar ibunya sekali lagi.
"Ih enggak mau Bundaaaa. Malu sama temen-temen masa cowok bawa bekal kan gak etis."
KAMU SEDANG MEMBACA
NO LONGER
RomanceDalam sekejap takdir semesta seperti sedang mencemoohnya. Merangkulnya dengan fakta mengejutkan bak hantaman meteor tak kasat mata hingga sesakkan dada. Hantaman yang mampu mendorongnya paksa pada kubangan rasa tanpa daya. Menenggelamkannya bersama...