Susah payah menutup akses agar rumah itu tetap aman,
nyatanya,
pengkhianat selalu datang dari arah yang paling tidak bisa diterima akal.~~~
Suara sayup-sayup kepanikan dari ujung telepon yang terbentang beberapa kilo meter di belahan bumi sana cukup berisik menyergap gendang telinga Cakra. Sudah berbagai macam kalimat penenang agar rasa panik itu hilang. Tapi tetap saja, pria dewasa di sana tidak menggubris apa-apa yang sudah dia gambarkan tentang keadaan kakaknya.
Kembali lagi pertanyaan terlontar dengan maksud yang sama. "Sekarang keadaan teteh gimana? Udah kamu bawa ke dokter?"
"Enggak, cuma Cakra kasih obat penurun panas doang tadi. Sekarang lagi tidur," jawab Cakra sembari mengintip dari balik pintu kamar Raina. "Bunda kapan pulang?"
"Tapi panasnya udah turun, kan?" vokal di sebrang sana berubah menjadi suara berat seorang pria empat puluh tahunan yang sudah dia kenali.
"Ayah snewen banget sih ih. Orang udah dibilangin lagi tidur, udah agak baikkan juga." jawabnya sedikit jengkel.
Cakra masih bertahan dengan ekspresi kening berkerut dan bibir sedikit monyong. Wajar saja, lantaran sejak awal sambungan telepon ayahnya terus menanyakan hal yang sama membuat dirinya harus mengulang-ngulang jawaban yang sama pula.
"Hahaha, bukan gitu, Nak. Ayah kasian kalo teteh masih demam. Kamu jadi kerepotan, kan." Sahut si pria dengan suara tawa khasnya yang menggema.
"Apaan, orang gak ngerasa direpotin juga. Ayah aja yang berlebihan. Kebiasaan kalo udah nyangkut teteh." gerutunya.
Ayahnya lantas terkekeh. "Gak usah ngambek gitu dong, bentar lagi Ayah sama Bunda pulang nih. Kamu jagain teteh. Cek terus suhunya takut nanti tiba-tiba panas lagi."
"Allahuakbaaaarr.. iyaaa Bapak Maheswaraaaa.. bapaknya siapa sih ini bawel pisan." Tukasnya setengah frustrasi.
"HAHAHA.. ya Bapaknya elu lah Komar," lagi, dengan tawa yang mengguar di udara ayahnya menyahut di sana.
Kemudian sambungan telepon itu di akhiri dengan Cakra yang meminta dibelikan cemilan setelah sama-sama melempar tawa karena jawaban si pria tua yang kelewat rempong.
Sepertinya sakitnya Raina cukup membuat kaget orang tuanya lantaran tadi pagi gadis itu tampak baik-baik saja.
Tapi memang sebenarnya sudah bisa ditebak, Raina akan tiba-tiba demam jika isi kepalanya dipenuhi dengan hal-hal yang membuat dirinya tertekan.
Hanya saja dia terkadang lebih memilih memendam semua masalahnya sendirian dan mencari solusi yang sekiranya tidak merepotkan.
"Bilangin sama Raina, besok berangkat sekolah gue jemput," ujar laki-laki yang baru menutup rapat pintu di belakangnya.
"Besok dia berangkat bareng gue." jawab Cakra lugas membuat laki-laki itu mengunci pandangannya pada mata coklat Cakra selama beberapa detik.
Dia mengangguk kemudian. "Oke, kalo gitu biar gue ketemu di sekolah aja."
Beruntungnya hujan sudah berehenti. Hanya menyisakan rintik-rintik yang masih bisa dimaklumi untuk dilalui sebagai bentuk pertolongan semesta kepada Raka dari dinginnya respon adik Raina.
Dia memilih memutus ketegangan yang terjadi di antara keduanya. Menjadikan baju basah sebagai alasan bahwa dirinya harus bergegas pulang.
Darinya, tidak ada tawaran menginap atau tawaran untuk pinjami baju, yang ada dari tatapnya seolah layangkan pengusiran segera.
KAMU SEDANG MEMBACA
NO LONGER
RomanceDalam sekejap takdir semesta seperti sedang mencemoohnya. Merangkulnya dengan fakta mengejutkan bak hantaman meteor tak kasat mata hingga sesakkan dada. Hantaman yang mampu mendorongnya paksa pada kubangan rasa tanpa daya. Menenggelamkannya bersama...