Dalam banyaknya pernak-pernik ujian, tampaknya semesta lebih sering membercandai dengan kata kebetulan. Mempertemukan kejadian-kejadian tak masuk akal yang kerap kali jadikan perselisihan.
Padahal, kebetulan macam apa yang seringnya hasilkan kesakitan?
~~~
"Lo cuci muka deh, Rain. Dari tadi gue hitung-hitung udah ke seribu kali kayaknya lo nguap." Titah si gadis berambut keriting hiperbolis pada teman di sebelahnya.
Saat ini Raina sedang menempelkan wajahnya di atas meja. Dia terkulai lemas, matanya tampak sayu menuntut untuk segera diberi pengistirahatan.
"Males jalannya Che, tapi sumpah ngantuk banget ini. Gendong gue ke toilet dong," jawabnya lemas seraya menutupi wajahnya dengan buku pelajaran.
"Udah sana cepet, keburu Bu Ida dateng. Lo ketahuan ngantuk bisa jadi kultum sampe pulang nanti." Imbuhnya seraya mencoba membangunkan Raina.
Akhirnya Raina hanya bisa pasrah memaksakan kakinya melangkah keluar kelas untuk bergegas membasahi wajahnya.
Langkahnya begitu lunglai tidak bergairah, bahunya nampak turun, dan kakinya sedikit dia seret-seret menandakkan lututnya pun meronta meminta untuk tidak dulu diikut sertakan mengukur jalanan. Tapi akan lebih buruk lagi jika dirinya sampai tertidur di kelas di saat Bu Ida sedang mengajar. Sudah dipastikan akan mengundang amukan masa nanti.
Hufttt..
Beginilah nasib jika dipertemukan dengan guru yang cukup strict dan sering sekali salty. Sekecil apapun kesalahannya akan berujung pada golakkan semprotan lava panas. Padahal, kebanyakan dari mereka hanya melakukan kesalahan spele, semisal tersenyum atau sedikit terkekeh saat wanita paruh baya itu sedang pemaparan materi belajar.
Dia akan menyebut siswanya menertawakan dia, tidak menghargainya sebagai guru, terlalu lalai dalam belajar atau bahkan seperti yang pernah terjadi di kelas sebelah. Beliau sampai mendedikasikan diri untuk tidak masuk di pertemuan berikutnya.
Dimaklum sih, mungkin karena bawaan hormon menjelang usia senja. Apa-apa dibawa ngambek, sudah layaknya gadis remaja yang merajuk pada pacarnya. Hadeuuh..
Saat melewati laboratorium, Raina tiba-tiba terikat magnet untuk memelankan langkahnya. Dia sedikit menaruh perhatian pada sayup-sayup adu mulut di dalam sana. Raina tidak bermaksud mencuri dengar, Sungguh. Hanya saja Raina merasa bahwa suara seseorang di sana begitu familier untuknya.
Raina meyakini bahwa yang sedang berselisih paham di dalam sana adalah sepasang kekasih. Meski dia sebenarnya meragu. Lebih tepatnya, dia menyangkal kalau-kalau yang di dalam sana adalah seseorang yang dia kenal.
"Aku udah capek ya ngalah terus. Kamu gak ada niatan buat putusin dia?!"
Racau seorang perempuan di dalam sana dengan suara sedikit naik satu oktaf membuat percakapan itu semakin jelas masuk ke gendang telinga Raina.
"Kenapa lo jadi nuntut gini sih?! Kan dari awal gue gak janjiin lo buat jadi satu-satunya!"
Vokal itu. Raina semakin mencoba menanjamkan indra pendengarannya.
Mereka sepasang selingkuhan? Raina membatin.
Tiba-tiba kepalanya diisi riak nama laki-laki itu. Logikanya terus mengirimkan sinyal untuk segera mengakui vokal dengan visual yang dia bayangkan memiliki kecocokkan.
Jujur saja, saat ini hati dan logikanya sangat bertolak belakang. Dia berusaha mengenyahkan prasangka yang sejak tadi merecoki isi kepalanya.
Tunggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
NO LONGER
RomanceDalam sekejap takdir semesta seperti sedang mencemoohnya. Merangkulnya dengan fakta mengejutkan bak hantaman meteor tak kasat mata hingga sesakkan dada. Hantaman yang mampu mendorongnya paksa pada kubangan rasa tanpa daya. Menenggelamkannya bersama...