15. MANIPULATIVE

25 3 0
                                    

Meski waktu terus berjalan tanpa bisa dijeda, Raina harus tetap bisa lewati semunya dengan perasaan seperti tidak terjadi apa-apa. Terutama di depan keluarganya.

Gadis itu masih memikirkan bagaimana pandangan ibu dan ayahnya jika tahu kebenaran yang terjadi satu minggu yang lalu. Bahkan, Cakra pun tidak Raina ijinkan untuk tahu masalahnya.

Dia memilih untuk menyelesaikan semuanya sendirian. Entah mungkin alasan sebenarnya adalah Raina tidak ingin keluarganya memandang jelek kekasihnya.

Hmm.

Apa masih menjadi kekasih, ya?

"Rain?"

"Hmm?" Jawab Raina tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponselnya.

"Lo sama Raka jadinya gimana?"

Raina bergeming.

"Lo kalo mau udahan, mending cepet obrolin semuanya baik-baik, Rain." Tutur Eilla. "Dengan lo yang gak jelas ambil keputusan kaya gini malah bikin luka lo makin dalam." Sambung gadis berambut kriting menatap Raina dari samping.

"Gue.. gak tahu Che. Gue gak ngerti."

"Lo bukan gak ngerti. Tapi lo gak siap kalo akhirnya kalian berdua harus udahan."

"Memangnya gue harus banget udahan, ya?" Tersirat nada gamang dalam pertanyaanya.

Eilla hanya mendengus. "Gue gak maksa lo harus udahan. Semua keputusan ada di tangan lo. Gue cuma mau lo sembuh dari luka yang dia kasih. Itu aja."

"Kalo gitu, gue boleh untuk enggak udahan kan, Che?"

"Kalo lo yakin bisa sembuh dengan enggak udahan, ya terserah." Imbuh Eilla berhenti menatap temannya. Saat ini pandangan di depan matanya lebih menarik dari mimik Raina.

Raina menunduk.

Nyatanya, kalimat-kalimat tanya yang dia lontarkan kepada Eilla sangat bertolak belakang dengan isi kepalanya.

Otaknya terus dipenuhi dengan bisikkan-bisikkan yang mengarah pada sikap harus menyerah. Dia diintruksikan logikanya agar tetap waras meski cinta sudah berada di tahap paling tidak masuk akal.

Rasanya dia ingin menyudahi semua ini. Memberi sedikit ruang pada hatinya agar mampu bernapas dengan lapang. Karena sudah satu minggu ini, sesak selalu hadir bersama bayang-bayang rasa percaya yang sudah ditebas dengan pengkhianatan.

Raina ingin jeda lama untuk kesembuhan lukanya.

Tapi di sisi lain, dia masih belum siap kehilangan Raka. Dia yang sudah terbiasa dengan kehadiran laki-laki itu semakin menambah kegamangan hatinya membayangkan bagaimana setiap detik yang dia lewati hilang tanpa diisi oleh dirinya.

"Gue jahat gak sih kalo minta udahan sama Raka?" Tanyanya. Seolah bertanya pada diri sendiri.

"Why did you ever think that you are cruel over him?"

Raina sempat terdiam. Lantas bersuara. "Ehm, soalnya kemarin Raka bilang kalo gue gak pernah support hobinya," ungkap Raina dengan nada sendu. "Gue sadar, emang gue jarang banget nontonin dia latihan futsal atau turnamen sedangkan Gista selalu nemenin."

"Then, you blamed yourself after he said all those shit, gitu?"

Raina tampak ragu untuk menjawab. Dia hanya mampu hembuskan napas berat. Tidak tahu harus bertindak apa. Jari-jemarinya terus dia mainkan. Isi kepalanya terus dihantui rasa bersalah kepada laki-laki itu.

"Rain, dengerin gue," ucap Eilla sembari memperbaiki duduknya untuk menghadap Raina.

"Yang namanya selingkuh itu, tetap selingkuh. Gak ada pengkhianat yang jujur. Gak ada ceritanya cheater yang langsung sukarela mau disalah-salahin. Gak ada. Yang ada nih ya, he will defense himself by blaming others. Kaya Raka contohnya."

NO LONGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang