11. SPEECHLESS

21 3 0
                                    

Tolong, tetap buat aku menapaki daratan. Agar tidak terus berharap pada apa yang tidak bisa ku genggam.

~~~

"Raina!" Suara Nino sedikit keras sebab ini adalah panggilan yang ketiga kali untuk gadis itu.

"H-hah?"

"Hah-heh-hoh mulu lo dari tadi. Kenapa dah? Lo ngelamun apa tidur?"

"Gila aja tidur. Suara lo kebawa angin, jadi gue ga denger," dalih Raina takut kalau-kalau dia ketahuan memikirkan Gara. "Kenapa, No?" sambungnya.

"Ngeles aja lo. Gue cuma bisa nganterin lo sampe depan rumah Gara aja ya. Soalnya mau jemput cewek gue. Gak apa-apa kan lo sendiri?"

Raina sebenarnya ingin mencegah tapi siapalah dirinya, sudah diantar sampai sini saja alhamdulillah. "Yaudah, gak apa-apa. Maaf ya pacar lo jadi nunggu gara-gara harus anterin gue dulu."

Nino menepikan motornya tepat di depan sebuah rumah dengan pagar yang menjulang. "Santai, Rain. Cewek gue abis ada urusan juga." Tukas Nino seraya turun dari motor untuk menghampiri salah satu penjaga disana.

"Pak, Garanya ada di rumah kan?"

"Ada, baru banget pulang barusan. Masuk aja." Jawab Pak Darmin seraya membukakan pagar. Pria paruh baya itu sudah sangat mengenal Nino, satu-satunya teman yang sering Gara ajak ke rumah.

Mendengar jawaban Pak Darmin, Nino mengangguk paham. Semacam sudah tahu 'pulang'nya Gara dari mana.

"Saya gak akan masuk Pak. Kebetulan mau langsung pulang ada kepentingan negara. Nanti paling malem saya ke sini lagi." Ujarnya sambil terkekeh.

"Cuma ini ada temen saya yang mau ketemu Gara. Tolong anterin ya, Pak." sambungnya lagi.

Pak Darmin menatap Raina lantas menggilir tatap pada Nino semacam melemparkan tanya 'memangnya boleh?'.

Beruntungnya, Nino paham maksud dari tatapan yang dilayangkan pak Darmin padanya. Lantas remaja itu mengangguk sebagai konfirmasi bahwa Gara tidak masalah dengan hal ini.

"Kalo gitu, gue pulang dulu Rain. Lo masuk aja, nanti diantar Pak Darmin. Pulang mah Gara pasti nganterin lo, kok." Ucapnya sambil menghidupkan motornya bersiap untuk pergi dari pelataran rumah Gara.

Raina mengangguk lantas tersenyum. "Makasi ya, No. Hati-hati di jalan."

Setelah Nino benar-benar hilang dari pandangan, sedetik kemudian ada suara bersahut dari samping gadis itu, "Ayo, Neng. Saya anterin ke dalem. Den Gara biasanya lagi di belakang kalau habis dari makam."

Baru akan mengikuti intruksi si bapak tua untuk melangkah, Raina lantas menoleh.

"Makam?" Suaranya begitu pelan tapi masih bisa didengar oleh pria yang sedang berjalan di sampingnya.

"Iya, makam Bundanya Den Gara."

Raina tertegun mendengar jawaban Pak Darmin. "Maaf Pak Darmin kalau saya lancang. Gara tinggal di rumah ini sama siapa, ya?"

"Sendirian, Neng."

Langkah Raina terhenti seketika. Dia masih ingin melemparkan beberapa pertanyaan lagi pada pria itu untuk memperjelas semua pikiran buruknya.

Tapi sayangnya, saat ini isi kepala Raina dipaksa menjahit potongan-potongan memori yang telah lalu kala dia teringat beberapa momen yang berhubungan dengan Gara.

Karena jika diingat-ingat, seringnya, dalam setiap acara rapat orang tua, Gara selalu beralasan Ibunya sedang sibuk di luar kota. Pun, dirinya selalu dengan tegas menjawab bahwa Ayahnya sudah meninggal jika seorang Guru bertanya kenapa tidak digantikan oleh Ayahnya.

NO LONGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang