16. GASHLIGHTING

32 3 1
                                    

Bajingan!
Aku bukan perempuan kelas teri,
Lancang sekali kau jadikan aku objek pilihan,
Sementara semesta saja bisa aku sendiri ciptakan.

•••••


Semenjak kejadian di Kafe lalu, Raina menjadi lebih tertutup. Memilih mengasingkan diri bersama luka-luka yang tidak yakin bisa pulih dalam kurun waktu yang sempit. Dia tengah menggemari aksi tanpa keluarkan banyak energi. Aksi yang bisa dia lakukan kapan saja hingga habiskan berjam-jam lamanya.

Termangu.

Setiap harinya dia menggenangi lubang dingin dengan bertumpuk-tumpuk darah tidak kasat mata di sudut ruang sana. Bagian-bagian cacat sudah nampak jelas tinggalkan jejak yang agaknya sukar dijejali obat pemulihan.

Di Kafe lalu adalah terakhir kali dia menangis. Entah danau air mata miliknya sudah mengering, atau mungkin dia sudah merasa asing pada jejak-jejak air mata yang sering dia lukiskan di kedua pipi. Seolah jalur basah itu hilang tak berhilal.

Cakra sedang mengamati aksi kakaknya. Menelisik dengan seksama air muka yang diproduksi oleh gadis itu. Di sana, tidak ditemukan sudut sendu ataupun ratapan getir. Justru, dalam kurun waktu hampir dua minggu ini, yang dia tunjukkan hanyalah tampang hambar seolah hormon-hormon dalam tubuhnya mogok beroperasi.

"Teh.." panggil Cakra.

Raina menoleh. "Hm?"

Cakra tidak langsung mengutarakan isi hatinya. Dia malah semakin lekat menatap Raina. Mencoba menyelami luka yang benar-benar gadis itu tutup rapat hingga tidak membiarkan siapapun untuk menyentuhnya.

"Apa, dek?" Matanya bersibobrok dengan sepasang netra coklat Cakra. "Jangan gitu liatinnya, ah. Serem." Raina memilih abai pada tatapan mengintimidasi adiknya.

"You are not okay." Pungkas Cakra.

"No. I'm totally okay."

"Teh ... please. Can you just tell me?" Jawab Cakra lirih.

Laki-laki bermata coklat itu cukup frustasi dengan sikap kakaknya. Karena setelah kejadian itu Raina bersikap seperti mayat hidup. Memang tidak terbaring letoi di atas tempat tidur tapi gadis itu melakukan semuanya nyaris tanpa rasa. Rumus hasilkan tawa di wajahnya bak hilang dibakar luka kelam.

Saat itu Cakra begitu kaget ketika Gara mengantarkan Raina dengan kondisi wajah bengkak hasil cucuran-cucuran air mata dari danau kristalnya. Napas yang masih tersengal membuat Raina sulit untuk ditanyai waktu itu.  Yang Cakra dapatkan hanya sepotong cerita dari Gara dan disumbang oleh penuturan Nino sebagai pihak yang memergoki dua manusia yang tertangkap basah masih menjalin kisah terlarang di belakang kakaknya.

Cakra tidak masalah jika Raina masih belum berminat untuk membagi cerita. Hanya saja, laki-laki itu lebih menginginkan Raina menangis atau melepaskan ekspresinya layaknya manusia normal yang merasa kecewa, sedih, dan kesal ketika terluka. Bukan memendamnya sendirian seolah perselingkuhan itu tidak pernah hadir di kehidupannya.

"Saking lamanya dicengkram. Sampe lupa gimana caranya jalan sendirian, ya." Ucap Raina memecah keheningan yang sempat terjadi.

"Enggak harus semua momen dinikmati dengan kaki, Teh. Kalo buat sekarang lo cuma mampu dengan duduk. It's okay. Kalo cuma bisa dengan rebahan. Just do it. Asalkan lo tetap hidup." Suaranya terjeda. Mencoba menegakkan punggung yang dia sandarkan pada sisi ranjang lalu menaruh seluruh atensi pada Raina.

NO LONGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang