23. THE DARK SIDE

37 3 0
                                    

Satu minggu.

Sudah satu minggu sejak kejadian itu Raina masih dibuat tidak percaya oleh fakta yang baru dia peroleh tentang hubungan Gara dengan ayahnya yang cukup kacau.

Sudah satu minggu sejak kejadian itu kepala Raina dibuat berisik dengan pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan Gara yang tidak pernah dia ketahui sebelumnya.

Pun, sudah satu minggu pula sejak kejadian hari itu Gara seolah sedang menghindari hal-hal yang berhubungan dengan Raina. Laki-laki itu seakan sedang membangun benteng besar di antara mereka berdua.

Ditambah dengan berakhirnya masa putih abu, benar-benar membuat keduanya sulit bertemu. Tidak ada lagi alasan untuk sekedar pulang bersama atau memainkan senar gitar di belakang sekolah.

Pernah beberapa kali Raina sengaja ke rumah laki-laki itu, yang dia dapati hanya ucapan Pak Darmin yang berkata bahwa Gara tidak ada di rumah. Beberapa kali pula Raina mencoba menghubungi Gara tetapi hasilnya selalu nihil. Tidak ada panggilan yang bersahut ataupun pesan yang berbalas.

Seperti saat ini misalnya.

Raina mendesah frustasi. "Emang aku ada buat salah, ya?" gumamnya pelan, bola matanya masih terpaku pada ponsel yang dia genggam.

"Kenapa, Teh?" tanya Bunda yang kini tengah berjalan mendekati Raina.

Gadis itu menoleh. "Enggak," jawabnya kembali fokus pada ponsel di tangannya.

"Enggak kenapa-kenapa tapi Bunda lihat-lihat dari kemarin kaya gelisah terus. Yakin enggak mau cerita?"

Raina terdiam sejenak. Dua iris coklatnya menatap langit-langit rumah. "Bun, kalau tiba-tiba seseorang hindarin kita itu kenapa, ya? Ada kemungkinan benci gak?"

"Jangan suudzon. Awalnya kenapa dulu, yang menjauh bukan berarti benci, Teh. Bisa aja dia lagi gak mau diganggu atau lagi punya masalah yang mau dia selesaikan sendiri," jelas sang ibu pada anak gadisnya.

Kembali Raina mendesah frustasi. "Lagian kenapa harus ngejauh, sih," gerutunya.

"Memangnya siapa, sih, yang lagi ngejauhin Teteh? Raka? Atau Gara?" tembak ibunya setengah penasaran.

Bukannya menjawab Raina malah membalikan tubuh kemudian membenamkan wajahnya pada bantal yang dia dekap.

"Kamu udah putus ya sama Raka?"

Pertanyaan itu berhasil membuat Raina terdiam sejenak kemudian menoleh pada ibunya dengan setengah wajah yang masih bersinggungan dengan bantal. "Kalau Teteh putus sama Raka gimana, Bun?"

"Ya gak apa-apa Bunda mah. Namanya juga cinta monyet. Gak perlu jadi musuh atau jadi gimana-gimana,"

"Kalau dia buat kesalahan gimana?"

"Ya kalau kamu sakit hati dengan kesalahan yang dia buat tinggal tunggu hati kamu memaafkan."

"Kalau kesalahannya menurut aku cukup fatal terus Bunda tahu semuanya, kira-kira Bunda bakalan benci gak sama dia?"

Ibunya lantas tersenyum. "Teh, bunda itu cuma orang luar di hubungan kalian. Dimana seharusnya Bunda enggak terlalu ikut campur dan mendikte sikap Teteh ke Raka harus gimana. Bunda akan berusaha memposisikan diri jadi pihak paling netral, tapi balik lagi, berhubung kamu anak Bunda, seenggaknya Bunda harus punya peran sebagai seseorang yang narik kamu biar enggak melewati batas dari hal-hal yang seharusnya punya batasan," jawab ibunya. "Dan di sini yang harus kamu tahu, Bunda itu ibu kamu, jadi sedikit banyak Bunda sudah tentu akan di pihak kamu tapi dengan catatan anak Bunda enggak salah, ya."

Hening kemudian. Raina kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kalimat-kalimat ibunya berhasil membuat gadis itu tersadar akan satu hal.

Selama ini dia terlalu sibuk memikirkan perasaan orang lain di saat dirinya sendiri rapuh dan terjatuh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 14, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NO LONGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang