17. LUCID DREAMS

23 3 0
                                    

Aroma semerbak adonan kue yang bercumbu dengan suhu tinggi pembakaran perlahan menyeruak ke seisi rumah. Bau perpaduan antara vanilla dan coklat berhasil mengusik indra penciuman seorang pria yang nampak tenang dalam tidurnya.

Keningnya sedikit berkerut dengan mata yang masih terpejam rapat. Beberapa kali dia mengendus-endus udara di sekitarnya untuk memastikan aroma ini bukan hidungnya yang keliru.

Perlahan dia membuka mata kemudian melirik ke sisi kanan.

Tidak ada.

Mencoba kembali memejamkan mata untuk mengumpulkan nyawa yang masih belum terkumpul sepenuhnya. Kemudian laki-laki itu mengedarkan pandangan ke kiri, sedikit menyipitkan mata hasil dari cahaya matahari yang menerpa wajahnya.

"Sayang ..." panggilnya dengan suara serak khas bangun tidur.

Tidak ada sahutan.

"Masa gak kedengeran?" Gumamnya pelan.

Lantas dia memutuskan untuk turun ke bawah mengikuti aroma yang sejak tadi berhasil membuat cacing dalam perutnya meronta meminta disuguhi tumbal makanan.

"Sayang, kamu di mana?" Panggilnya lagi.

"Aku di dapur. Ini ada Bunda." Sahut suara seorang perempuan di bawah sana.

Buru-buru laki-laki itu mempercepat langkah kaki ketika mendengar ibunya sudah ada di rumah sepagi ini. Sudut bibirnya membentuk satu tarikkan ke atas menandakan dirinya yang tiba-tiba disergap rasa bahagia.

"Bundaaaa ... kok gak ngabarin mau ke sini, sih? Biar aku jemput padahal," Protesnya setelah melihat punggung kecil milik ibunya yang tengah berjibaku dengan perkakas rumah tangga bersama istrinya.

Wanita berambut sebahu itu berbalik lantas tersenyum melihat penampilan Gara yang begitu awut-awutan. Kaos putih oblong, rambut mengembang seperti singa, mata masih tampak sayu, dan visual bareface yang semakin menambah kesan lelah di wajahnya.

Wanita itu tiba-tiba merentangkan tangan dan bersuara. "Peluk dulu. Bunda kangen banget sama kamu." Ucapnya tersenyum di ujung kalimat.

Tanpa perlu konfirmasi lain, Gara langsung memeluk ibunya begitu erat. Menyalurkan energi kerinduan yang begitu kuat di hatinya. Akhirnya perasaan ini kembali dia rasakan.

Laki-laki itu memejamkan mata dengan tersenyum. Rasanya ingin sekali dia menjeda waktu untuk beberapa lama karena momen-momen seperti ini begitu langka bisa dia rasakan. Selalu banyak halangan dan kendala yang mengharuskan dirinya terus-terusan menunda pertemuan ini.

Setelah cukup puas menyalurkan energi rindu yang dia rasa, perlahan dia mengurai pelukan dengan ibunya. Dia tatap wanita paling cantik yang balas menatapnya dengan teduh. Gara tersenyum melihat bagaimana paras ibunya yang tetap terlihat muda meski usia dirinya yang terus tumbuh dan beranjak dewasa.

Garis-garis kecantikkan pada wajah wanita itu semakin nampak jelas dan tidak bisa disangkal. Bagaimana bisa kecantikkannya masih tetap sama dengan yang dia lihat sepuluh tahun lalu?

"Bunda mau sampe kapan di sini?" Tanya Gara.

"Bentar aja, nanti sore juga pulang."

Sadar dengan ekspresi yang ditunjukan oleh sang anak, kembali dia bersuara. "Kenapa? Masih kangen, ya?" Ibunya menggoda seraya mengusap pipi anak laki-laki kesayangannya.

Gara tersenyum sendu. Tanpa mau menjawab pertanyaan itu, dia mencoba mengalihkan. "Bunda sengaja bikin ini?"

"Enggak, pas ke sini istri kamu lagi sibuk bikin muffin. Ya udah bunda bantuin aja," Jawab wanita itu. "Kamu sih tidur terus."

NO LONGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang