18. IT HURTS, THO

33 3 2
                                    

Bagaimana bisa seseorang yang dulunya aku tatap penuh cinta,
sekarang tidak bisa aku lempari dengan sorot mata yang sama.

~~~

"Raina?"

Gadis bermata coklat yang tengah duduk di meja Kafe seketika terkancing di tempatnya. Menatap sosok laki-laki yang muncul tanpa undangan. Bibirnya kelu tidak kuasa menyambut sapaan itu.

"Boleh aku duduk?"

"Ak-- gue harus pergi." Sontak Raina beranjak dari kursi untuk pergi dari sana.

"Rain, please ... Aku mau ngobrol sama kamu. Sebentar aja, ya?" Laki-laki itu menahan tangan Raina dengan memberi sorot permohonan pada gadis di hadapannya.

"Tapi gue gak mau, Raka." Jawabnya dingin.

Ya, laki-laki itu sengaja membuntuti Raina sejak sore di tengah gadis itu yang sedang berproses penyembuhan luka. Dia sedang berusaha menata kembali serpihan-serpihan yang terlanjur berserakan. Berharap dengan pilihan mengasingkan diri ini bisa sedikit membantu memulihkan semuanya. Sedikit saja, asalkan dirinya tidak terlalu tenggelam dalam kepahitan.

Akhir-akhir ini memang perempuan bermata coklat itu lebih senang menghabiskan waktunya sendiri. Menikmati apapun yang dia temui sebagai bentuk pengenalan diri dan mencoba mendapatkan kembali jati diri yang sudah lama teramputasi.

Rasanya menyenangkan. Bisa tersenyum pada siapa saja, berhenti di mana saja, dan melanjutkan langkah semaunya. Gadis itu terkadang di sergap rasa menyesal. Kenapa tidak dari dulu dia menikmati momen-momen seperti ini sendirian?

Mengingat kembali momen beberapa hari lalu Raina yang saat itu memegang payungnya sendiri di tengah rintik-rintik hujan yang jatuh ke bumi. Dia terus berjalan melangkahi lubang-lubang genangan yang sesekali halangi jalan. Kemudian dirinya yang dikagetkan dengan percikan air dari kendaraan-kendaraan yang berlomba memecah jalanan.

Basah. Kotor.

Sepersekian detik hatinya merasa dongkol akibat dari hasil percikan yang membuat bajunya basah sebagian. Tapi di detik selanjutnya segaris senyum terbit dari bibir mungil gadis itu.

Ah, begini rasanya hidup mengikuti arah langkah kaki sendiri? Meski sesekali, perasaannya disergap rasa ragu, seakan aturan-aturan dulu masih kentara melekat dalam dirinya.

"Tolong, kasih aku kesempatan buat ngobrol sama kamu. Aku kangen," laki-laki itu masih mengiba pada Raina.

Raina berdecak kesal. Dia kesal menangkap mimik wajah itu. Dia takut kalau-kalau dengan melihat sorot permohonannya, dirinya malah kembali goyah. Karena jujur, jauh dalam diri Raina, gadis itu sangat merindukan lelakinya. Merindukan semua momen yang pernah mereka lalui.

"Makasih," ucapnya setelah melihat respon Raina yang kembali duduk meski kentara di wajahnya raut ketidaksukaan. "Kamu ke sini bareng Gara?" Tidak ada tatapan mengintimidasi atau nada tinggi. Sebuah pertanyaan yang cukup lembut dari mulut laki-laki itu.

"Kenapa? Gak suka?" Gadis itu bertanya datar.

Raka tersenyum. "Enggak, aku cuma nanya aja." Laki-laki itu mengedarkan pandangan seolah sedang mencari seseorang.

"Mau ngapain ke sini? Kita udah putus seandainya kamu lupa."

"Kamu gak mau kasih aku kesempatan, Rain?" Raka mengiba melalui suaranya. Karena hampir satu bulan ini dia terus mencari cara agar bisa menemui Raina dengan leluasa.

"Buat apa? Biar bisa nyakitin aku lebih dalam lagi, iya?" Tanya Raina sarkastik.

Raka menunduk. Tersenyum getir mendengar bagaimana nada suara Raina begitu kasar di telinganya. Dahulu, gadisnya tidak pernah lontarkan nada tinggi sekalipun. Seberapapun perempuan itu marah, dia selalu bertutur lembut hindari perselisihan. Malah dirinyalah yang terlampau sering lontarkan nada-nada tinggi hingga bentakan.

NO LONGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang