13. SUCH A LIAR

33 3 0
                                    

Sejak awal, memang seharusnya beri separuhnya jangan seluruhnya. Ini salahnya, terlalu percaya pada apa yang masih bias dalam pandangan. Menganggap semua kemungkinan buruk dalam dirinya adalah sebuah ketidakmungkinan.

Padahal manusia adalah wadah dari segala bentuk rupa dosa dan kesalahan. Sekarang yang dianggap tidak ada cela itu ternyata memberi gambaran luka paling nyata yang belum pernah dia punya. Maka, harus apa dia sekarang?

~~~

Hingga saat ini gerimis masih melanda. Rintik hujan masih betah membasahi tanah bumi. Seperti tidak ada pertanda bahwa mereka akan berhenti. Sengaja mungkin, menemani seorang gadis yang saat ini tengah bergelung di bawah selimut seorang diri. Memberi atmosfer sendu atas apa yang sedang dia alami.

Rasanya masih sama. Sakit di ulu hati yang semakin ke sini perihnya tidak terkendali.

"Kamu apa-apaan sih, Ka?!" Protes Raina.

Dia tengah adu mulut dengan laki-laki yang saat ini sedang diselubungi kabut amarah.

"Kenapa? Kamu gak suka?!" Tanyanya dengan intonasi cukup kasar.

"Bukan masalah gak suka! Kamu ini udah keterlaluan sampe ngblokir temen-temenku. Gimana kalo aku nanti butuh mereka buat ngerjain tugas?!"

Perselisihan Raina dan Raka dipicu karena lima menit lalu Raina menerima chat dari teman sekelasnya --laki-laki-- untuk ikut kerja kelompok lusa. Hal tersebut telah berhasil memantik amarah Raka hingga dengan sepihak semua kontak laki-laki di ponsel Raina dia blokir tanpa sisa.

"Aku tau kok, kamu gak suka temen-temen kamu aku blokir. Soalnya kamu jadi gak bisa chattingan sama mereka dengan bebas. Sadar Raina, kamu itu pacar aku!"

"Apaan sih gak jelas banget. Aku gak pernah chattingan sama mereka selain nanyain tugas, ya!" Sahut Raina meninggi.

"Gak usah ngeles. Sekarang kamu nurut aja sama aku. Jangan banyak ngebantah!" Suaranya sarat akan perintah. Lalu memberikkan ponsel gadis itu pada pemiliknya dengan kasar.

Dalam tangisnya, semakin sering potongan bayangan tentang bagaimana laki-laki itu selalu melarang-larang dirinya, mencemburuinya, menghakiminya seolah dirinya akan berpaling hati.

Sekarang, siapa sebenarnya yang layak untuk tidak dipercayai?

Hingga detik ini, sudah satu box tissue Raina habiskan sejak dirinya pulang sekolah. Tidak dia biarkan siapapun masuk ke kamarnya. Dia masih ingin menikmati sakitnya sendiri, mengilhami setiap titik luka yang tidak sungkan dia beri.

Sepertinya memang hubungan lama tidak jadi jaminan untuk bisa dia hargai.

"Raka bajingan!" ucapnya dengan suara serak.

Dengan mengucapkan namanya saja dia merasa tidak kuasa. Hatinya terus berdenyut nyeri tanpa tahu titik luka itu di sebelah mana. Dia memegang dadanya, mencengkramnya kuat sebagai bentuk pengalihan agar sakit itu bisa hilang kala dia genggam.

Nyatanya, sia-sia saja. Sakit itu, sesak itu, perih itu tetap ada. Tidak mau menghilang bahkan mereda.

Tok.. tok.. tok..

"Teh?" panggil seorang laki-laki di balik pintu kamar Raina. Dia menunggu jawaban dari dalam sana. "Teh? Di dalem kan?" sambungnya lagi.

Gadis yang sedang bergelung di bawah selimut itu lantas menjeda acara tangis-tangisannya. Dia mencoba mengecek jam di atas nakas. Ternyata, sudah hampir maghrib namun gadis itu tak miliki niat untuk keluar kamar.

NO LONGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang